Jumat, Maret 27, 2009

Toleransi, Pembauran dan Atribut

Pembauran adalah isu lama yang selalu hangat karena tidak pernah tuntas. Disebabkan tidak ada bentuk yang baku, pembauran masih menyisakan masalah terutama bagi sebagian orang yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip.


Pembauran dianggap jalan keluar untuk keluar dari masalah kemajemukan. Bagi sebagian orang toleransi belum dianggap cukup, sehingga diperlukan pembauran agar konflik bisa dihindari dalam kemajemukan.


Pelepasan atribut asli seperti menjadi tuntutan agar pembauran berjalan maksimal. Dan sebagai akibatnya terjadi pembentukan identitas baru karena identitas asal sudah terbaur.


Berikut ini adalah contoh cerita mengenai pembauran yang terjadi di Indonesia. Pembauran antar suku dan agama yang terjadi di sekitar kita. Wikimuers bisa memberikan penilaian sendiri atas contoh pertama sampai ketiga. Mana yang dianggap baik, paling baik atau bahkan buruk. Namun kita tetap harus menerimanya sebagai kenyataan yang menjadi wakil pembauran di Indonesia.


Contoh pertama, seorang laki-laki asli Jawa. Dia sudah lama tinggal di Banjarmasin, katanya sejak bapak dan ibunya pindah ke Banjarmasin dari Jawa Tengah sekitar tahun 60-an dan bekerja di sini. Dia sendiri terlahir di sini, dan hidup di lingkungan yang sebagian besar warganya adalah orang Banjar. Hampir setiap hari di rumah dia berbahasa Jawa, tapi di lingkungan pergaulan masyarakat dia berbahasa Banjar dengan logat – tentu saja – tidak dapat dihilangkan medognya, namun makanan sehari-harinya masih khas Jawa dengan terkadang campur maanan Banjar. Keluarganya masih sering mudik menengok famili di Jawa, biasanya pada hari Lebaran Kupat – istilah hari raya yang dirayakan oleh orang Jawa 7 hari setelah Hari Raya Idul Fitri.


Contoh kedua, seorang Banjar asli. Dia sekolah sejak SMA di Jakarta dan diteruskan dengan kuliah di sana dan kemudian bekerja. Dia jarang pulang ke kampung halaman dan sekali pulang dengan gaya bicara yang betawi sekali. Gua, lu, emang, biarin, deesbe. Bahkan katanya di rumah dia tidak berbicara dengan bahasa Banjar. Menikah dengan gadis Menado yang menjadi muslimah, mempunyai anak tiga dan sudah tidak pernah lagi makan “gangan waluh” makanan khas Banjar. Pada akhirnya secara lahir dia sulit diidentifikasi sebagai orang Banjar.


Contoh ketiga adalah seorang Jawa beragama Islam. Tinggal di Jakarta dan menikah dengan seorang gadis Solo beragama Kristen. Mereka hidup berumah tangga dengan dua agama. Sebagian anak-anaknya beragama Islam ikut bapaknya, sebagian lagi ikut agama ibunya. Setiap perayaan hari raya kedua agama mereka bersama-sama merayakannya, pokoknya terlihat mesra dan tidak ada masalah.


Penilaian Wikimuers atas ketiga cerita di atas pasti berbeda-beda. Tapi saya yakin anda mempunyai pendapat tentang itu. Bentuk pembauran tidak akan pernah bisa dibakukan, dan itulah keunikan Indonesia. Yang penting kita memberikan kepada anak-anak kita pengetahuan yang cukup dan menanamkan prinsip-prinsip keimanan yang kuat agar nanti setelah dewasa mereka bisa menetukan pilihan-pilihannya dengan benar.



Sumber gambar : http://mirifica.net/uploadan/thumb/40PEACE.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar