Senin, Oktober 05, 2009

Batik, Orde Baru dan Jawanisasi

Pengakuan Unesco, (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) badan PPB yang mengurusi pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan ini, atas batik sebagai budaya Indonesia asli cukup melegakan kita, setelah “deraaan” bertubi-tubi berupa klaim produk budaya kita oleh negara jiran.



Sebagai salah satu – dan satu-satunya – produk kebudayaan Indonesia non benda yang diakui PBB dalam daftar refresentatifnya yang memuat 76 produk budaya non benda dari 27 negara, kita – dalam hal ini pemerintah – patut mengupayakan ratusan produk budaya bangsa kita lainnya agar mendapatkan kedudukan yang sama.


Batik budaya Jawa


Sebagai bangsa dengan multi etnik – beragam suku, anak suku dan kulturnya masing-masing – Indonesia memiliki bermacam-macam produk budaya berupa tenunan dan celupan. Sebut saja antara lain songket dari Sumatera, yang dibeberapa daerah di sana juga memiliki beragam corak, kain ulos dari Batak (Sumatera Utara), kain Krawang dari Gorontalo, dan juga kain Sasirangan dari Banjar (Kalimantan Selatan).


Seperti halnya beberapa kerajinan tenunan dan celupan tersebut di atas, batik juga merupakan produk budaya khas suku Jawa. Kegiatan membatik dilakukan oleh semua suku di pulau Jawa dan Bali, dengan berbagai ragam coraknya sebagai ciri khas masing-masing daerah.


Orde Baru dan jawanisasi


Masuknya batik ke tanah Banjar kemungkinan dimulai sejak terjadinya hubungan perdagangan antara para pedagang dari Pulau Jawa dan tanah Banjar, meskipun produk budaya wayang, gamelan dan kuda lumping sudah terlebih dulu diterima dan menyatu dengan budaya Banjar, terutama sejak masuknya Islam ke tanah Banjar. Namun penggunaan batik benar-benar dipopulerkan oleh pemerintahan Orde Baru, seiring “jawanisasi” – suatu istilah yang saya tidak sukai, tapi tidak bisa dipungkiri – yang terjadi selama rezim itu.


Di masa Orde Baru sebagian besar kepala daerah, dari gubernur, bupati hingga camat dan pimpinan kantor wilayah departemen, panglima daerah militer dan kepala kepolisian di tanah Banjar adalah orang Jawa yang ditunjuk oleh pemerintah pusat untuk memimpin di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Strategi yang dimaksudkan untuk memudahkan koordinasi dengan pusat ini kemudian berdampak infiltrasi budaya Jawa ke dalam budaya setempat, termasuk budaya berbusana batik.


Ada dua jalan sebagai cara masuknya budaya penggunaan busana bercorak batik di dalam kehidupan masyarakat di daerah luar Jawa, yakni :


1. Secara formal instansi-instansi pemerintah (departemen maupun bank-bank milik pemerintah) “mengharuskan” karyawannya untuk berbatik pada saat menghadiri acara-acara resmi kantor, di mana pimpinan kantor tersebut biasanya orang Jawa.


2. Orang-orang Jawa yang banyak terdapat di tanah Banjar berprofesi sebagai pejabat, karyawan, pedagang dan petani transmigran yang didatangkan sejak masa penjajahan Belanda dan Jepang. Pada masa Belanda, para transmigran adalah para buruh kerja rodi untuk membuat jalan, di masa Jepang sebagai penanam pohon jarak dan di masa Orde Baru disebarkan untuk mengurangi populasi penduduk yang membludak di Pulau Jawa.


Melalui kegiatan-kegiatan keseharian para pendatang dari Pulau Jawa inilah batik dipopulerkan di daerah non Jawa, seperti kenduri atau hajatan perkawinan dan selamatan yang melibatkan masyarakat lokal, ditambah dengan kebiasaan berbatik di kantor-kantor, maka masyarakat menjadi lazim menggunakan busana bercorak batik di acara-acara non formal lainnya di lingkungannya.


Batik milik dan kebanggaan bangsa Indonesia


Batik aslinya memang bagian dari budaya Jawa, tapi sejak tahun 1928 harusnya semua produk budaya di Nusantara adalah milik bangsa Indonesia. Mencintai batik, sama halnya dengan mencintai kain sasirangan, songket atau ulos. Maka ketika batik diakui oleh PBB dan dunia sebagai produk budaya asli Indonesia, bukan hanya orang Jawa yang bangga, tapi juga seluruh bangsa Indonesia membanggakannya. I love batik, I love Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar