Senin, April 06, 2009

Program Kuliner Versus Memasak, Bagaimana Bangsa Bisa Bangkit?

Program kuliner adalah salah satu acara televisi yang banyak penggemarnya, karena menampilkan berbagai ragam masakan lezat yang khas berbagai daerah dan bangsa. Hampir semua stasiun televisi yang ada di Indonesia mempunyai program kulinernya sendiri-sendiri, dari mulai kuliner jajanan pinggir jalan, keliling nusantara untuk menampilkan makanan-makanan khas daerah hingga makanan luar negeri.


Acara kuliner yang populer dan sering dinantikan banyak orang ini semula adalah bagian dari sebuah program salah satu stasiun televisi swasta berupa jalan-jalan keliling daerah yang dipandu oleh Dorce Gamalama. Sebuah acara keliling Nusantara ini kemudian seperti megnet dan menarik perhatian banyak orang. Gaya khas Dorce dan tampilan acara yang unik menyajikan jenis-jenis makanan khas daerah Nusantara, sempat menjadi ikon dan menarik minat banyak pemirsa televisi. Mengikuti tren ini banyak stasiun televisi lain berlomba membuat acara khusus kuliner.



Kemana program memasak?


Setelah beberapa tahun acara kuliner mewabah di hampir semua stasiun televisi swasta, tampaknya telah menggusur program yang lebih senior yaitu acara masak-memasak. Beberapa acara masak-memasak di televisi mengalami “kematian” dalam persaingan dengan program acara ini. Tidak ketinggalan host acara memasak dan koki terkenal Rudi Haerudin pun ikut-ikutan meninggalkan program memasaknya dan “terpaksa” berkeliling dari rumah makan ke rumah makan untuk sekedar menjelaskan lezatnya suatu masakan dan bahan-bahan apa yang ada di dalamnya.


Kurangkah minat belajar memasak pada pemirsa televisi? Bukankah program memasak juga mempunyai banyak penggemar? Atau barangkali fans acara memasak sudah berpindah ke acara kuliner.


Secara teoritis memasak adalah pekerjaan mudah, karena tinggal mengikuti resep dan tata cara memasak yang ditunjukkan oleh pakarnya. Tetapi pada prakteknya memasak sulit, karena setelah dilakukan percobaan ternyata hasilnya seringkali tidak seperti yang diharapkan. Jadi kesimpulannya acara memasak hanya digemari oleh orang-orang tertentu saja, khususnya ibu rumah tangga dan para pehobi memasak, selebihnya orang menontonnya hanya karena rasa ingin tahu bagaimana sebuah masakan bisa dihasilkan.



Mental konsumtif dan lemahnya gairah belajar


Seperti yang terjadi pada kasus acara masak-memasak begitu juga dengan acara televisi belajar menjahit pakaian, ketrampilan elektronik, pembuatan barang kerajinan, pembuatan teknologi sederhana dan lain-lain. Acara-acara televisi sejenis ini biasanya tidak bertahan lama dan ditinggalkan oleh pemirsanya. Pada acara seperti ini pemirsa tidak bisa mengharapkan sekedar melihat-lihat berbagai jenis barang dengan bentuk-bentuknya yang indah, tetapi dituntun untuk belajar dan mencoba mempraktekkan cara pembuatannya.


Sampai di sini kita dapat menyimpulkan bahwa bangsa kita – dalam hal ini pemirsa televisi bisa saja dianggap mewakili bangsa karena acara televisi sudah hampir bisa ditonton di seluruh Indonesia dan menonton televisi sudah menjadi kebutuhan pokok bangsa ini – lebih menyenangi barang sedia jadi daripada bersusah payah membikinnya sendiri. Semangat konsumtif dan belanja sepertinya sudah mengalahkan semangat berkarya dan mencipta.


Nah, bagaimana mengharapkan Indonesia bisa bangkit kalau mental bangsa seperti ini?




Sumber gambar : http://www.kafebalita.com/content/files/article/sue_mcdonald_and_kids_cooking_large.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar