Rabu, November 26, 2008

Hasil Survey PPIM : Kebanyakan Guru Agama Islam Menentang Pluralisme


Kebanyakan guru agama Islam di sekolah umum dan swasta di pulau Jawa menentang pluralisme, dan memelihara keberadaan radikalisme dan konservatisme, menurut sebuah survey yang dirilis di Jakarta, hari Selasa 25/11.


Hasil survey menunjukkan 62,4 % dari para guru agama Islam yang disurvei, yang berasal dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah – dua organisasi Islam yang paling besar negeri ini – menolak kepemimpinan non Muslim.


Survei tersebut diselenggarakan bulan lalu oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, dengan mengikutkan sebanyak 500 orang pelajar Islam dan para guru sepulau Jawa sebagai responden.


Survey tersebut mengungkapkan 68,6 % dari responden menolak prinsip-prinsip non Muslim menjadi peraturan di sekolah mereka dan 33,8 % menolak keberadaan guru non Muslim di sekolah-sekolah mereka.


Sekitar 73,1 % dari para guru itu tidak menghendaki para penganut agama lain membangun rumah ibadahnya di lingkungan mereka.


Sekitar 85,6 % dari para guru melarang para siswa mereka untuk ikut merayakan hari-hari besar yang merupakan bagian dari tradisi-tradisi bangsa Barat (contoh : Valentin Day), sementara 87 % melarang para siswanya untuk mempelajari agama-agama.


Sekitar 48 % dari para guru lebih menyukai kalau para pelajar perempuan dan laki-laki dipisahkan ke dalam kelas yang berbeda.


Direktur PPIM Jajat Burhanudin berkata para guru itu anti pluralisme yang dicerminkan di dalam pelajaran yang diberikan oleh mereka dan berperan dalam menumbuhsuburkan konservatisme dan radikalisme di tengah masyarakat Muslim di negeri ini.


"Saya pikir mereka memainkan sebuah peran kunci dalam mempromosikan konservatisme dan radikalisme di tengah masyarakat Muslim sekarang ini. Anda tidak bisa berkata bahwa sekarang konservatisme dan radikalisme hanya berkembang di jalan-jalan seperti apa yang telah dikampanyekan oleh FPI (Pront Pemberla Islam), tetapi secara lebih jauh telah bertumbuh kembang di dalam dunia pendidikan," katanya, dengan memberi contoh kepada sebuah kelompok Islam yang radikal.


Jajat berkata sifat tidak toleran seperti itu akan mengancam hak-hak sipil dan politik dari warganegara yang berlainan agama (non Muslim).


Survei juga menunjukkan 75,4 % dari responden para guru meminta kepada para siswa mereka untuk mengajak para guru yang non Muslim untuk berpindah ke agama Islam, sementara itu 61,1 % menolak keberadaan sekte baru di dalam Islam.


Sejalan dengan keyakinannya yang tegas, 67,4 % responden berkata mereka lebih merasa sebagai Muslim dibandingkan sebagai bangsa Indonesia.


Mayoritas dari responden juga mendukung adopsi hukum syariah di dalam negeri untuk membantu kejahatan perang (diterjemahkan dari fight crime, pen).


Menurut survei, 58,9 % dari responden berpendapat hukuman rajam (dilempari dengan batu) adalah bentuk hukuman untuk bermacam-macam kejahatan dan 47,5 % berkata hukuman untuk kasus pencurian adalah dengan dipotong tangan, sementara itu 21,3 % menghendaki hukuman mati bagi mereka yang murtad atau keluar dari agama Islam.


Hanya 3 % dari para guru tersebut yang merasakan bahwa tugas mereka adalah untuk menghasilkan siswa yang bersikap toleran.


Dengan 44,9 % dari responden mengaku diri adalah anggota Nahdlatul Ulama dan 23,8 % pendukung Muhammadiyah, Jajat berkata berarti kedua organisasi yang moderat itu telah gagal untuk mananamkan nilai-nilai organisasinya di akar rumput.


"Pluralisme dan sikap moderat hanya tampak di kalangan elit organisasi saja. Saya takut kalau fenomena ini ikut memberikan kontribusi terhadap peningkatan semangat radikalisme dan bahkan terorisme di negeri kita," katanya.


Tapi saya tidak tahu, bagaimana perasaan anda setelah membaca berita ini, takut, cukup kuatir atau bahkan gembira ?


Sumber : http://www.thejakartapost.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar