Kamis, Juni 18, 2009

Capres Mana Lebih Bersih? Ini Buktinya

Tulisan ini sebetulnya bukan merupakan gaya saya, di mana mengangkat berita yang memojokkan orang lain. Namun saya melihat pemberitaan oleh media akhir-akhir ini sangat tidak berimbang, terutama yang berhubungan dengan tindakan-tindakan dan keputusan-keputusan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai calon presiden incumbent.


Sebagian besar media, on-line maupun media cetak dan elektronik lainnya menayangkan berita-berita seputar capres-cawapres yang tidak berimbang. Sangat jelas dan nyata capres SBY diserang dari segala penjuru, sementara capres-capres lainnya mengaku yang paling pro rakyat, cinta produk dalam negeri, atau mengaku mempunyai program kemandirian bangsa.


Berikut ini adalah link yang bisa menunjukkan kepada Anda semua bahwa tidak ada satu pun capres-capres kita itu “benar-benar” bersih dari keterlibatan dalam proses ekonomi liberal (atau yang sekarang lebih trend dengan istilah Neo-Lib) dan pengerukan kekayaan alam Indonesia.



Siapa George Junus Aditjondro?


George Junus Aditjondro (lahir pada 27 Mei 1946 di Pekalongan, Jawa Tengah) adalah seorang sosiolog asal Indonesia. Pada sekitar tahun 1994 dan 1995 nama Aditjondro menjadi dikenal luas sebagai pengkritik pemerintahan Soeharto mengenai kasus korupsi dan Timor Timur. Ia sempat harus meninggalkan Indonesia ke Australia dari tahun 1995 hingga 2002 dan dicekal oleh rezim Soeharto pada Maret 1998. Di Australia ia menjadi pengajar di Universitas Newcastle dalam bidang sosiologi. Sebelumnya saat di Indonesia ia juga mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana. Saat hendak menghadiri sebuah workshop di Thailand pada November 2006, ia dicekal pihak imigrasi Thailand yang ternyata masih menggunakan surat cekal yang dikeluarkan Soeharto pada tahun 1998.



Ekopol Tambang oleh George Junus Aditjondro


Inilah link dimaksud: http://www.scribd.com/doc/11016195/Ekopol-TambangGeorge-Junus-Aditjondro

Untuk mempermudah Anda inilah sedikit uraian yang merupakan salinan – dengan ditambah sedikit keterangan – dari isi tulisan pada link tersebut.


Jusuf Kalla hal 8. Paling tidak tiga orang di antara segelintir decision maker ekonomi Indonesia atau keluarga dekat mereka ikut mengeruk rezeki berlimpah dari minyak dan gas bumi, sebelum mereka bergabung ke dalam kabinet “Indonesia Bersatu” pimpinan SBY. Di puncak anak tangga tentunya perlu disebutkan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla sendiri, yang keluarganya adalah pemilik Nuansa Grop. Menantu JK, Soesanto (“Tono”) Soepardjo, yang menikah dengan putri tertua Jusuf Kalla, Muchlisah Kalla, diserahi memimpin PT Kalla Inti Kalla Nuansa Group, salah satu investor yang menggarap sumur minyak di Blora, Jawa Tengah.


Di luar urusan Blok Cepu, kelompok Bukaka yang dipimpin oleh Ahmad Kalla, adik kandung sang Wakil Presiden, punya hubungan bisnis dengan salah satu raksasa migas dari AS, ConocoPhilips. Berkongsi dengan perusahaan daerah Batam, PT Bukaka Barelang Energy, sedang membangun pipa gas alam senilai 750 juta dollar AS – setara Rp. 7,5 trilyun – untuk menyalurkan gas alam dari Pagar Dewa, Sumatera Selatan, Ke Batam. Nama perusahaannya, PT Bukaka Barelang Energy. Gas alamnya sendiri berasal dari ladang ConocoPhillips di Sumatera Selatan.


Sangat jelas korelasinya antara klaim Capres JK mengenai konversi minyak tanah ke gas dengan alasan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Padahal secara logika, gas lebih mahal daripada minyak tanah.



SBY Hal 12. Tidak disebutkan memiliki perusahaan, hanya disebutkan ada kedekatan hubungan (jelas masih menduga-duga) dengan Letjend. Purn. T.B. Silalahi, staf ahli presiden bidang skuriti, “sangat rentan” dimanfaatkan oleh Tommy Winata, pimpinan kelompok Artha Graha. Soalnya T.B. Silalahi orang kunci di Artha Graha.



Mega hal 15. PDIP sendiri tidak dapat diharapkan mewakili aspirasi rakyat yang tidak setuju dengan kenaikan harga BBM, maupun penunjukan ExxonMobil sebagai pengelola blok Cepu. Ini tidak terlepas dari dominannya peran Megawati Soekarnoputri dan suaminya, Taufik Kiemas, di fraksi terbesar di DPR RI itu. Padahal keluarga ini merupakan pedagang BBM yang semakin berjaya di wilayah DKI.


Dengan memiliki 13 SPBU (yang sebagian besar diperoleh di masa kekuasaannya sebagai Presiden. Kita tahu di masa Orde Baru atau rezim Soeharto keluarga Megawati betul-betul dikucilkan dan sulit untuk berbisnis), keluarga Mega-Taufik sangat berhasil di bidang pemasaran BBM, dan masih terus berniat membuka pompa bensin baru, dengan merek Pertamina maupun yang lain. Akhir tahun lalu semua SPBU milik keluarga Mega-Taufik sudah berhasil menjual lebih dari 15 ribu liter gabungan premium, pertamax dan solar. Bahkan salah satu di antaranya, yaitu yang berlokasi di kawasan Pluit, Jakarta Barat, mampu menjual 90 ribu liter sehari. Makanya, mereka sangat diuntungkan dengan keputusan pemerintah menaikkan harga BBM tahun lalu. Padahal keluarga Taufik Kiemas bukan satu-satunya anggota parlemen yang berjualan minyak. Lalu untuk apa mereka mau menentang masuknya maskapai migas asing, mulai dari hulu ke hilir?


Nah, terserah Anda untuk menilai tulisan George Junus Aditjondro tersebut di atas. Untuk lebih mantapnya Anda baca sepenuhnya isi tulisannya. Ditambahkan lagi untuk melihat-lihat tulisan lainnya pada link http://ws.copernic.com/copern/ws/results/Web/proyek%20tambang%20yusuf%20kalla/1/417/TopNavigation/Relevance/iq=true/zoom=off/_iceUrlFlag=7?_IceUrl=true


Di akhir warta ini, saya mengajak Anda semua untuk berpikir dengan lurus, benar dan berimbang. Bukankah Anda bisa menilai mana yang lebih bersih, atau kalau tidak bisa, Anda bisa menilai mana yang paling diuntungkan secara materi dan mana yang tidak?


Ini juga mungkin yang menjadi alasan SBY untuk berpisah dengan Jusuf Kalla dan memilih Budiono sebagai cawapresnya, karena Budiono bukan seorang businessman, taat beragama, rendah hati, cerdas dan betul-betul pekerja ulet. Barangkali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar