Minggu, Juni 21, 2009

Capres Mana Lebih Bersih? Ini Buktinya (Bagian ke-3 Habis)

Sekuel ke tiga dari warta berjudul “Capres Mana Lebih Bersih? Ini Buktinya” adalah merupakan bagian akhir dari pengungkapan keterlibatan para Capres-Cawapres kita yang akan berlaga di Pilpres 2009 dalam korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) pada masa Orde Baru hingga masa reformasi.



Korupsi merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara


Korupsi yang berbuah penderitaan bagi rakyat Indonesia, baik berupa anjloknya nilai tukar Rupiah, mahalnya harga kebutuhan pokok, meningkatnya pajak, sulitnya lapangan kerja dan lain sebagainya bermula dari sebuah mega-kekuasaan yang disebut Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.


Penderitaan yang terus berlanjut hingga sekarang ini, disebabkan belum putusnya hubungan sebab-akibat dan juga belum benar-benar pupusnya bagian-bagian dari jaringan korupsi tingkat tinggi peninggalan rezim Soeharto, membuat kehidupan bangsa kita terpuruk sedemikian rupa.


Keterkaitan ekonomi dan politik antara rezim Soeharto dengan beberapa presiden di masa reformasi (termasuk juga para Capres dan Cawapres sekarang ini) akan diuraikan secara jelas berikut ini.



Evolusi oligarki kepresidenan berkaki tiga dari Soeharto hingga Megawati


Istana Kepresidenan Republik Indonesia, selama lebih dari 30 tahun terakhir, menjadi lahan subur bagi berkembangnya korupsi dan kroniisme yang menyengsarakan ekonomi negara. Dengan dukungan kuat partai politik yang berkuasa dan militer, Istana ramai dikerubuti para koruptor yang mencari “sesuap nasi” dari kucuran dana-dana haram yang sesungguhnya merupakan hak rakyat Indonesia.


Sejak era Soeharto, mega korupsi di Indonesia telah tumbuh sedemikian rupa menjadi jalinan oligarki yang sulit diputus mata rantainya. Presiden-presidennya juga tak luput dari jaring-jaring oligarki tersebut, yang terus dipertahankan dan diperbaharui melalui persekutuan-persekutuan terselubung lewat berbagai sektor ekonomi dan politik. Tidak salah kiranya, jika Indonesia dikenal sebagai negara terdepan yang rajin mengorupsi dan menjarah rakyatnya sendiri.


Oligarki sebagai sistem kekuasaan ekonomi-politik adalah suatu bentuk masyarakat di mana kekayaan menentukan kekuasaan, di mana kekuasaan politik berada di tangan orang-orang kaya, sementara orang miskin tidak mempunyai kekuasaan apa-apa (A society where it is wealth that counts, and in which political power is in the hands of the rich and the poor have no share of it - Plato1987:366) (Hal 4 Korupsi Kepresidenan)


Kalau kita amati baik-baik, oligarki Soeharto itu berkaki tiga. Kaki pertama adalah istana, yang juga merupakan lingkaran dalam dari oligarki ini. Yang dimaksud dengan “istana” di sini bukanlah gedung yang merupakan tempat tinggal resmi keluarga Presiden, melainkan keluarga besar Presiden yang juga meliputi kerabat dan keluarga besar yang tinggal di luar istana. Di puncak era kekuasaan Soeharto, keluarga besar Soeharto, yang cenderung tidak tinggal di dalam kompleks Istana Negara dan Istana Kepresidenan, lebih populer dengan istilah “Keluarga Cendana”. Ini bukan hanya karena Soeharto dan keluarga batihnya lebih banyak bertempat tinggal di rumah-rumah pribadi mereka di Jalan Cendana, tapi juga karena perjanjian-perjanjian bisnis dengan keluarga Soeharto lebih banyak ditempa di rumah pribadi Soeharto, diperantarai oleh Nyonya Suhartinah (Tien) Soeharto.


Selanjutnya kaki kedua adalah “tangsi”, yang sekaligus merupakan lingkaran pelindung pertama dari “istana”. Yang dimaksud dengan “tangsi” di sini bukanlah tempat tinggal segala kesatuan dari ketiga Angkatan dan Polri, melainkan komunitas militer dan polisi dari para purnawirawan, perwira tinggi sampai para prajurit, yang bertugas memelihara kepentingan modal besar. Tugas itu bukan semata-mata dijalankan karena ketaatan pada perintah atasan, melainkan karena berbagai kesatuan TNI telah diikat kesetiaannya pada keluarga batih (nuclear family) Soeharto, lewat perkongsian bisnis perusahaan milik keluarga Soeharto dengan yayasan-yayasan milik satuan-satuan TNI dan Polri. (Hal 8 Korupsi Kepresidenan).


Kaki ketiga oligarki Soeharto ini adalah partai penguasa, yang di era kepresidenan Soeharto dimainkan oleh Golongan Karya (Golkar). Kaki ketiga adalah benteng perlindungan kedua bagi berbagai bisnis istana, yang sekaligus menyamarkan keberpihakan para serdadu dalam melindungi kepentingan bisnis keluarga istana. Dengan ketiga jalurnya – jalur A (ABRI – sekarang disebut TNI), Jalur B (Birokrasi), dan jalur G (kader Golkar yang asli, yang berasal dari ketiga ormas pendiri Golkar, yakni MKGR, KOSGORO dan SOKSI – partai penguasa ini menjadi benteng yang sakti dalam melindungi bisnis istana, dan sekaligus men-sipil-kan bisnis keluarga Soeharto. (Hal 13 Korupsi Kepresidenan)


Nah, bagaimanakah evolusi oligarki Soeharto itu setelah empat kali pergantian presiden di negara kita? Pada dasarnya, sistem oligarki ini tetap mengalami reproduksi, dengan pergeseran warna dan pemain di sana-sini. Tetapi pada dasarnya, sistem oligarki itu tetap bertumpu pada tiga pilar atau kaki yang sama, yakni istana, tangsi, dan partai penguasa.



Era Presiden Habibie (masa transisi 19 bulan)


Di bawah Presiden B.J. Habibie, yang bisnis keluarganya jalin-menjalin sangat erat dengan bisnis keluarga Soeharto (Aditjondro 1998), keluarga Habibie dengan cepat berusaha menggeser peranan keluarga Soeharto dalam ekspansi bisnis oligarki ini, begitu Habibie memperoleh tongkat kekuasaan kepresidenan. Ini, misalnya, dapat dilihat dari aktor utama dalam konsorsium pengekspor pasir laut dari Kepulauan Riau ke Singapura. Kalau di era Soeharto konsorsium itu dipimpin oleh Tommy Soeharto dan Anthony Salim, di era Habibie, tampuk pimpinan bisnis bernilai miliaran rupiah itu bergeser ke tangan Thariq Kemal Habibie.


Keluarga besar Habibie juga masih sempat menikmati hasil kolusi bisnis mereka dengan bisnis industri strategis negara, sesudah Habibie turun tahta. Secara khusus, dapat disebutkan hubungan bisnis antara PT PAL di Surabaya dengan PT Citra Harapan Abadi, milik Rahayu (=Yayuk) Habibie, adik kandung B.J. Habibie. Perusahaan itulah yang menjadi broker antara PT PAL dengan pemerintah Jerman dalam pembelian 39 kapal perang bekas Jerman Timur, demi komisi bagi PT Citra Harapan Abadi serta penyelematan kinerja PT PAL. Adaptasi kapal-kapal Jerman yang sistem penyesuaian udara (air conditioning) untuk suhu dingin Laut Baltik dengan suhu panas perairan Indonesia, berikut komisi untuk pihak-pihak yang terlibat mendongkrak kontrak pembelian eks-armada Jerman Timur itu dari 750 juta dollar AS menjadi 1,1 miliar dollar AS (Aditjondro 1998:95).


Kerjasama antara PT Citra Harapan Abadi dan PT PAL tidak berhenti sampai di situ. Perusahaan milik Yayuk Habibie dan suaminya itu juga memegang keagenan perusahaan galangan kapal Jerman, Lurssen Werfts (selanjutnya disebut Lurssen). Lurssen, pada gilirannya, mendapat kontrak pengadaan kapal patroli cepat untuk Ditjen Bea & Cukai. Padahal, rancang bangun kapal patroli cepat tipe 28 meter sudah dijual kepada PT PAL sekitar tahun 1980. Malah Lutssen sendiri telah menyerahkan pekerjaan kapal-kapal patroli cepat itu kepada PT PAL di Surabaya.


Kenyataannya, proyek pembuatan selusin kapal patroli cepat itu juga mengalami keterlambatan sepuluh bulan, sehingga baru selesai sekitar Juni tahun lalu. Selain itu, dugaan mark up proyek senilai Rp 289 miliar itu juga masih sedang diajukan oleh ornop Maritime Watch ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saat itu, keagenan Lurssen di Indonesia sudah beralih dari PT Citra Harapan Abadi ke PT Fajar Reksa Petala. Namun, presiden direkturnya, Freddy Lontoh, juga masih keluarga B.J. Habibie (Legal Review, April 2005: 10-13). (Halaman 23-24 Korupsi Kepresidenan).



Era Presiden Megawati (masa kekuasaan 3 tahun)


Di era kepemimpinan Presiden Megawati, penggerak konsorsium itu bergeser ke PT Nalendra Bhakti Persada, yang dipimpin oleh MS Zulkarnaen. Bekas direktur eksekutif WALHI itu telah mencoret paradigma lingkungannya dan menjadi kroni Taufik Kiemas. Selain sangat merusak ekosistem laut dan merugikan penghasilan nelayan Kepulauan Riau, konsorsium pengekspor pasir laut itu total menunggak hampir Rp 60 miliar iuran produksi ke provinsi Riau (Aditjondro 2004a: 65)


Ketika Presiden Gus Dur sedang menghadapi kasus skandal Bulog-gate I dan Brunei-gate yang kemudian berhasil menggulingkannya atas nama “pemberantasan KKN di lingkungan penyelenggara negara”, wacana politik di tingkat nasional sudah mulai dijangkiti kecaman-kecaman terhadap Taufik Kiemas, suami Megawati Soekarnoputri, Wakil Presiden yang dijagokan untuk menggantikan Gus Dur.


Bersama adik-adik dan menantunya, Hapsoro (“Happy”), suami Puan Maharani, Taufik Kiemas dengan sigapnya mulai terjun ke pentas bisnis nasional, begitu kedudukan Megawati sebagai Ketua Umum PDIP dikukuhkan kembali di Kongres Nasional PDIP di Semarang. Kongres Semarang itu berhasil menyingkirkan kelompok pembaru di PDIP, sambil memantapkan kelompok pragmatis yang berlindung di balik punggung lebar Taufik Kiemas. (Aditjondro 2004b). (Hal 25 Korupsi Kepresidenan).


Sebelum akhir masa kepresidenan Megawati, kontrak pembelian pesawat Sukhoi 30K telah direalisasi oleh Angkatan Udara. Kado hari jadi ke-58 bagi TNI tanggal 5 Oktober 2003 berwujud dua jet tempur Sukhoi tipe Su-27SK dan dua jet Su-30 MK senilai US$ 171 juta serta dua helikopter serbu tipe Mi-35P senilai US$21,9 jta, atau total bernilai Rp 1,7 triliun lebih. Dalam kunjungan ke Rusia untuk menggolkan kontrak itu, turut serta putri bungsu Megawati dan satu-satunya anaknya dengan Taufiq Kiemas, yakni Puan Maharani. Ini kemudian menguatkan spekulasi bahwa Puan Maharani atau suaminya, Hapsoro alias Happy, ikut menikmati komisi sebesar Rp 426,4 miliar dari kontrak yang ditandatangani di Moskow tanggal 24 April 2003 (lihat Trust, 2-8 Juli 2003: 8-9; Tempo, 27 Juli 2003, Rubrik Investigasi)


Dengan demikian, tidak banyak perubahan yang terjadi selama Megwati menyelesaikan era kepresidenan Gus Dur. Trio istana-tangsi-partai penguasa hanya mengalami perubahan yang tidak esensial. Peranan Partai Penguasa, yang selama era Soeharto dan Habibie dimainkan oleh Golkar, kini dimainkan oleh PDIP. Sebelumnya, sejumlah pengusaha dan politisi yang dulu mempertaruhkan karir bisnis dan politiknya pada Golkar, sudah “loncat pagar” ke PDIP. Di tingkat nasional, kita dapat mencatat loncat pagarnya Arifin Panigoro. Di tingkat Daerah, kita dapat mencatat loncat pagarnya Atu dan Teras Narang, dua orang aktivis Gokkar ke PDIP di Kalimantan Tengah. (Hal 26 Korupsi Kepresidenan)


Bisnis keluarga militer, sebagai lem perekat kepentingan militer dengan kepentingan bisnis rezim yang berkuasa, mendapat pengukuhan kembali di era Megawati Soekarnoputri. Ada bisnis keluarga militer yang lebih bercakup nasional, ada juga yang lebih regional cakupannya, yakni keterlibatan anak-anak jenderal dalam beberapa bisnis besar di provinsi-provinsi tertentu. Misalnya, terlibatnya Dudy Makmun Murod, anak mantan KSAD Makmun Murod dalam PT Dipasena Citra Darmaja (DCD), perusahaan pertambakan udang terbesar di Asia Tenggara milik Syamsul Nursalim. Dudy “kebetulan” satu daerah asal dengan Taufiq Kiemas. Sedangkan keluarga Syamsul Nursalim secara terbuka sering menunjukkan kedekatannya dengan keluarga Megawati (Aditjondro 2004a: 131-3)


Taufiq Kiemas pernah secara terbuka menegaskan akan mengawal pengucuran dana bagi tambak DCD itu (Kompas, 9 Januari 2004). Dengan demikian, BPPN menjadi sungkan menagih hutang Gajah Tunggal Group, konglomerat milik keluarga Syamsu Nursalim yang tidak Cuma dekat dengan keluarga Megawati, tapi juga dekat dengan penguasa politik dan ekonomi Singapura.


Sementara itu, d Sulawesi Tengah ada perkebunan kelapa sawit seluas 52 ribu hektar milik keluarga Hartati Murdaya, di mana Ronny Narpatisuta Hendropriyono, anak Kepala BIN, A.M. Hendropriyono duduk sebagai komisaris (Aditjondro 2004a: 53-54). Nama ayah dan anak itu muncul kembali dalam susunan komisaris dan direksi PT Kia Mobil Indonesia (KMI). Hendropriyono duduk sebagai Komisaris Utama perusahaan penyalur 12 jenis mobil buatan Kia Motors Corporation, Korea Selatan. Sedangkan Ronny Narpatisuta, bersama Fayakun Muladi, putra mantan Menteri Kehakiman Muladi, duduk sebagai direktur perusahaan itu, yang masuk kelompok Artha Graha yang dipimpin Tomy Winata (Aditjondro 2004a: 55). Ini mungkin langkah strategis sang taipan itu untuk mendekatkan bisnisnya dengan Presiden Megawati Soekarnoputri, mengingat Hendropriyono adalah juga kader PDIP dan sudah membina hubungan yang dekat dengan Megawati sejak ia masih dimusuhi oleh Presiden Soeharto. (Hal 27 Korupsi Kepresidenan)


Sedangkan di Sulawesi Utara, Theo Syafei Daeng Kulle, seorang mantan jenderal yang juga dekat dengan Megawati dan menjadi salah seorang ketua DPP PDIP, juga mendapat kapling bisnis yang sangat berarti. Ia menjadi komisaris utama PT Megasurya Nusalestari, yang membangun dan mengelola Mega Hall di kawasan Boulevard, kawasan pantai kota Manado yang telah diuruk oleh perusahaan itu. Anaknya, Nano Syafei, duduk sebagai salah seorang direktur di perusahaan itu (Aditjondro 2004a:82). Perusahaan itu pernah menjadi penyandang dana bagi Legium Christum, organisasi milik Katolik di Sulawesi Utara, yang mengaku sudah memiliki sekitar 2.000 orang anggota (Aditjondro 2002b).


Kedekatan antara kedua anak jenderal dan mantan jenderal itu dengan keluarga Megawati-Taufiq Kiemas belumlah apa-apa, dibandingkan dengan kedekatan antara Tomy Winata dengan Taufiq Kiemas. Soalnya, Tomy Winata sehari-hari memimpin bisnis kelompok Artha Graha, yang didukung oleh dana dari Bank Artha Graha. Padahal Angkatan Darat, melalui Yayasan Kartika Eka Paksi, menguasai 20% saham bank itu. Lewat majalah milik kelompok Artha Graha, Pilars, Tomy Winata membesar-besarkan dukungan suami presiden bagi armada perikanan PT Tingsheen Bandasejahtera di Tual, Maluku Tenggara.


Perubahan lain, dibandingkan dengan di era Soeharto, adalah pembagian tugas di antara Megawati dan suaminya. Sementara tugas Megawati sebagai Presiden adalah mengurusi negara, maka Taufiq Kiemas yang resminya bukan pejabat eksekutif negara dan juga bukan pimpinan DPR atau MPR dapat menghambur-hamburkan uang rakyat untuk perjalanan-perjalanan “dinas” ke daerah-daerah, misalnya ke Sumatera Selatan dan Papua Barat, atau untuk berulang kali ke basis politik istrinya, Bali, untuk melihat celah-celah bisnis warisan keluarga Soeharto yang dapat dialihkan ke keluarga dan kroni Megawati. Dominasi peranan suami presiden yang menjatuhkan pamor politik sang presiden kembali disuarakan oleh kelompok pembaru di PDIP, setelah kekalahan PDIP secara telak dalam pemilu legislatif yang lalu. Suara-suara kritis itu secara esensial tidak berbeda dengan kritik mahasiswa terhadap peranan Nyonya Tien Soeharto sebagai pencetus proyek mercu suar Taman Mini tahun 1971, serta populernya lagu “Tante Sun” di kalangan mahasiswa Bandung lima tahun kemudian. (Hal 27-28 Korupsi Kepresidenan).



Dampak korupsi terhadap Ekonomi


Penimbunan kekayaan yang tak terkendali ini, yang melibatkan tiga generasi keluarga Soeharto dan setidaknya dua keluarga besannya (keluarga Kowara dan Djojohadikusumo), yang membentuk inti oligarki keluarga-keluarga bisnis kapitalis (misalnya keluarga Lim Sioe Liong) dan keluarga-keluarga dari kawan keluarga-keluarga birokrat kapitalis (misalnya keluarga Habibie), telah mendesak ekonomi ke tepi jurang kebangkrutan Indonesia dan semakin tercengkeram dalam jerat para kreditor asing. Ini terasa makin ironis, mengingat pinjaman luar negeri oleh sektor swasta itu – atau untuk proyek-proyek publik yang disubkontrakkan kepada para konglomerat yang terkait dengan keluarga Soeharto – justru kian gencar setelah permulaan krisis keuangan pada semester kedua 1996.


Pada 2000 total utang luar negeri Indonesia, yang mencakup utang pemerintah dan swasta, membengkak lebih dari US$ 144.2 miliar, yang hampir setara dengan jumlah produk domestik bruto tahunan (GDP) yang berjumlah US$ 160 miliar. Hampir separuh dari hutang tersebut, atau antara US$68.2-69,2 miliar, merupakan hutang luar negeri perusahaan-perusahaan swasta. Selain itu, perusahaan-perusahaan domestik yang mengalami kesulitan keuangan akut masih berhutang US$ 45 miliar pada bank-bank, yang telah diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sebuah badan baru pemerintah (Winters 2000; Sjahrir 2000, Reuters, 13 Oktober 2000; Jakarta Post, 14 Oktober 2000).


Karena itu, meminta hutang baru, misalnya sebesar US$ 4.8 miliar yang telah disetujui pada sidang terakhir CGI (sekarang telah dibubarkan) di Tokyo pada Oktober 2000 (Sjahrir 2000), tanpa merebut kembali sejumlah besar kekayaan Soeharto yang didapatnya secara tidak sah, terkesan sama dengan memberi pelajaran kepada para anggota oligarki tersebut bahwa korupsi dapat ditoleransi sepanjang berskala besar. Di sisi lain, dua pemerintahan pasca Soeharto, yaitu pemerintahan Habibie dan Abdurahman Wahid, tak mampu meloloskan diri dari jaring strategi korupsi Soeharto (Aditjondro 2001a, 2001b) yang menciptakan oligarki korupsi berskala nasional, yang tampak berjalan sangat efektif. (Hal 88-89 Korupsi Kepresidenan)



Dampak korupsi terhadap negara


Selama 32 tahun kediktatorannya, dengan menjadikan Golkar sebagai kendaraan politik sipil utamanya, dan dengan kontrol atas militer dan lembaga-lembaga penegak hukum – di mana suap, pemerasan, dan manipulasi ideologis diterapkan guna mempertahankan kekuasaan Soeharto atas seluruh aparatur negara – Soeharto telah menghancurkan secara tuntas lembaga-lembaga demokrasi dan badan-badan penegak hukum yang ada. Maka, ketika akhirnya Soeharto terjungkal dari jabaannya, tiga pilar utama kekuasaan Soeharto – jaringan bisnisnya, militer, dan Golkar – masih tetap utuh. (Hal 90 Korupsi Kepresidenan)



Pengaruh korupsi terhadap masyarakat


Pada intinya, korupsi kepresidenan Soeharto telah menjadikan Indonesia suatu masyarakat yang dicirikan sebagai korupsi tingkat ketiga oleh Syed Hussein Alatas. Inilah tingkat, di mana korupsi, karena merusak jaringan masyarakat, menjadi self-destructive. Seperti dengan sangat tepat digambarkan oleh Alatas: “Korupsi merangsang pengembangan korupsi yang lebih besar, dan tingkat yang lebih jauh ini selanjutnya mendorong meningkatnya korupsi yang lebih besar lagi. Ketika pemerasan telah meluas di kalangan pegawai negeri, dan digunakan oleh polisi yang bertugas, petugas di loket, perawat di rumah sakit, ini biasanya merupakan dampak dari korupsi sebelumnya di level yang lebih tinggi. Bagi kondisi negara yang melahirkan korupsi luas di kalangan pegawai negerinya, dibutuhkan keberadaan suatu situasi korupsi sebelumnya yang menyebabkan timbulnya kondisi ini.” (1999:19).


Biasanya, peralihan dari tingkat pertama korupsi yang terbatas, ke tingkat tiga korupsi yang meluas dan berakar dalam, “dimulai dengan kelompok yang paling tak terganggu oleh kesulitan-kesulitan ekonomi yang memengaruhi cara mereka mencari nafkah. Mereka ini adalah kelompok pejabat tinggi dan para pengusaha kaya. Ketika korupsi dalam lingkaran ini telah berlangsung dalam beberapa waktu, masyarakat kemudian akan merasakan dampaknya. Pendapatan negara menurun secara timpang dibanding volume perdagangan dan sumber-sumber yang bisa dikenakan pajak. Nilai mata uang turun, dan harga-harga naik. Ketika hal ini terjadi, pegawai rendahan mulai melakukan korupsi untuk mempertahankan kehidupan mereka. Tapi kesulitan ekonomi umum ini dilahirkan oleh korupsi yang dilakukan oleh mereka yang lebih kaya. Ada banyak variabel menarik di sini, yang pada gilirannya menentukan apakah korupsi oleh kelas-atas dan berpengaruh ini, akan memunculkan kondisi-kondisi bagi korupsi umum. (1999:19-20) (Hal 92 Korupsi Kepresidenan)


Pertanyaannya adalah; layakkah kita menyalahkan pemerintahan SBY atas semua akibat langsung dari korupsi oligarki sejak masa Soeharto hingga Megawati berupa kenaikan harga barang, kesulitan lapangan kerja dan masih maraknya pungli di mana-mana yang merupakan akibat langsung dari korupsi raksasa-raksasa ekonomi dan pejabat di masa lalu yang masih berlangsung hingga sekarang. Upaya-upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintahan SBY dengan KPK-nya tentu masih butuh waktu sangat lama – bahkan menurut saya hampir-hampir mustahil dalam 10 atau 20 tahun bisa selesai – untuk bisa memberantas korupsi di tingkat raksasa-raksasa ekonomi sampai ke tingkat jajaran terbawah di pemerintahan, di mana korupsi bisa dikatakan sudah membudaya – istilah yang banyak dikecam oleh para pakar sosiolog, tapi merupakan kenyataan di depan mata.


Namun ada satu hal lagi yang kita patut pertanyakan, yakni mampukah SBY mengadili kroni-kroni Soeharto sampai Megawati yang bisnisnya sangat bernuansa KKN, dan SBY sendiri apakah bisa menghindari diri dari terpeleset KKN seandainya dia menjabat sebagai presiden RI untuk masa jabatan kedua?



Sumber : Buku Korupsi Kepresidenan Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga, Istana, Tangsi dan Partai Penguasa oleh George Aditjondro, publikasi oleh LKIS tahun 2006 492 halaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar