Minggu, Juni 21, 2009

Pencitraan, Suatu Keniscayaan Kampanye Politik Capres-Cawapres

Kampanye politik adalah sebuah upaya pencitraan, baik oleh partai politik, calon legislatif maupun calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres). Seperti halnya sebuah iklan produk, maka kampanye politik juga menawarkan sesuatu yang bisa dijual pada diri kandidat atau parpol untuk dibeli oleh para calon pemilih.


Sesuatu yang dijual tentu menunjukkan nilai lebih, baik dari segi mutu maupun penampilan. Sehingga di dalam dunia marketing, pada pandangan pertama bungkus bisa sangat menentukan dibandingkan isi. Produk sehebat apa pun, dengan kualitas tinggi sekalipun bisa tidak laku kalau pembungkusnya tidak menarik atau berkesan tidak bisa dipercaya.


Pencitraan bermakna memberikan citra atau gambaran – dalam hal ini tentu saja yang baik-baik. Sebagai usaha untuk menarik hati para calon pemilih, para kandidat dan parpol akan memanfaatkan segala hal yang bisa menumbuhkan pandangan positif pada diri pemilih terhadap mereka, baik itu segi penampilan, gaya berbicara, kecerdasan dalam mengungkapkan pikiran, maupun kegiatan atau hasil kerja yang sudah ada.


Kalau seorang kandidat, capres misalnya, mempunyai semua hal yang bisa dijual, misalnya berpenampilan meyakinkan, berotak cerdas, berbicara lugas dan jelas, sekaligus menunjukkan hasil kerja yang baik, tentunya capres ini mempunyai nilai penuh di mata calon pemilihnya.


Untuk kandidat yang tidak memiliki “nilai lebih” yang dimiliki kandidat yang lain, tidak lantas menghujat dengan alasan, misalnya, kandidat lain tersebut mengandalkan sosok penampilan dan gaya yang di-jaim-jaim-kan. Kalau saya menilai, pendapat tersebut dilatarbelakangi oleh prasangka dan kecemburuan, sehingga berkesan “kekanak-kanakan” sekali.



Polling merupakan upaya pencitraan


Secara tidak langsung, polling atau pengumpulan pendapat untuk pasangan capres-cawapres merupakan upaya pencitraan. Di luar indepensi lembaga survei yang melaksanakan survei, hasil survei bisa saja digolongkan dalam usaha pencitraan capres dan cawapres. Kapabilitas sebuah lembaga survei tentunya bisa dinilai oleh para ahlinya, sedangkan masyarakat pada umumnya hanya bisa melihat dan menggunakan hasil survei tersebut.


Kalau ada tudingan bahwa sebuah lembaga survei merupakan “antek-antek” capres dan cawapres tertentu, itu pasti murni merupakan tuduhan penuh prasangka, karena secara ilmiah setiap lembaga survei bisa mempertanggungjawabkan pelaksanaan serta hasil polling yang dikerjakannya.


Akhir-akhir ini beberapa lembaga survei mengumumkan hasil polling pasangan capres-cawapres. Dari angka-angka yang ditampilkan, tampak persentase yang lebih besar (lebih dari 60%) mengarah pada satu pasangan calon. Pasangan calon yang merasa dirinya memenangkan polling, sah-sah saja mengaku sebagai “pemenang polling”, lalu berdasarkan hasil itu mengumumkan dirinya sebagai “calon pemenang” pemilu presiden nanti dalam satu putaran saja. Seandainya pasangan tersebut tidak memenangkan polling lebih dari 60% atau hanya memperoleh persentase seimbang dengan pasangan lain, tentunya pengakuan tersebut menjadi “aneh” dan bisa dianggap “tidak waras”.


Pengakuan kemenangan dalam satu putaran pemilu presiden ini pun sebenarnya sebuah bentuk pencitraan. Sama saja dengan pasangan lain yang mengaku kalau dia menjadi presiden maka ekonomi Indonesia akan bebas dari pengaruh asing, atau tingkat pertumbuhan ekonomi nasional akan sebesar 2 digit. Bukankah terdengar sama “sombongnya”?


Itulah pencitraan. Di dalam pencitraan ada kebutuhan sebuah pengakuan akan kehormatan, martabat, kecerdasan, dan sebagainya yang ada pada diri orang yang dicitrakan. Hal tersebut dimaksud agar dia mendapatkan pengakuan dari masyarakat dan pengikutnya sehingga dirinya dipilih oleh rakyat sebagai presiden dan wakil presiden.


Pernahkan Anda berpikir kenapa Tuhan mengutus nabi dan rasul kebanyakan dari kalangan terkemuka atau berdarah biru, berotak cerdas, bertubuh kekar, berwajah rupawan, dan bersuara lemah lembut? Itulah pencitraan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar