Minggu, Juni 21, 2009

Capres Mana Lebih Bersih? Ini Buktinya (Bagian ke-2)

Warta ini adalah lanjutan dari warta yang berjudul sama sebagai pelengkap informasi kepada Anda bahwa capres-cawapres kita mempunyai latar belakang yang “tidak bersih” dari kepentingan ekonomi dan juga misi politik secara tersembunyi yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat.


Nanti anda akan membaca dan mengetahui bahwa jargon mengedepankan kepentingan rakyat kecil dan bangsa ini hanyalah merupakan lips service dan berada jauh di bawah kepentingan pribadi dan kelompok.


Warta ini ditulis berdasarkan uraian George Aditjondro berjudul Prabowo Subianto dan Cendana (Menyongsong Era Soeharto Babak II) yang disusun oleh Jhoni Tuerah, yang tulisan aslinya bisa dibaca pada link http://www.opensubscriber.com/message/mediacare@yahoogroups.com/11656943.html


Berikut kutipan-kutipannya disajikan untuk membantu Anda agar lebih memahami latar belakang capres-cawapres kita secara benar, lurus dan berimbang, untuk menjadi landasan pemikiran dalam menentukan pilihannya pada Pemilu Presiden tanggal 08 Juli 2009 nanti.



Pengakuan keluarga Cendana


Pada bagian alenia pertama diuraikan bahwa keluarga Cendana dalam hal ini diwakili oleh Probosutedjo, adik tiri Soeharto alm. mantan Presiden RI ke-2, dengan terang-terangan mengaku berdiri di belakang Gerindra, yang mencalonkan Letjend (Purn) Prabowo Subianto sebagai presiden RI yang ke-7. Hal tersebut diungkapkannya pada hari Jumat tanggal 6 Maret 2009 di depan massa di muka rumah orangtua Soeharto di Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Jogyakarta.


Pada kesempatan lain, Probosutedjo sudah pernah mengeluarkan pernyataan serupa, yang kontan ditanggapi mantan Ketua MPR Amien Rais, waktu itu. Menurut Amien, dukungan Cendana malah merugikan Prabowo, karena akan mempersempit dukungan bagi dia. (Dilansir Okezone 23/1)


Pernyataan Probosutejo memang penuh kontroversi. Dalam kampanye di Kemusuk, ia menyatakan, dalam tiga tahun setelah Prabowo menjadi presiden, setiap rakyat akan memiliki tanah minimal dua hektare (Dikutip dari Harian Yogya, 7/3). Padahal, keluarga besar Prabowo sendiri menguasai lebih dari tiga juta hektare tanah dari Aceh sampai Papua.

Bisnis dan kekayaan keluarga Soemitro Djojohadikusumo

Janji pembagian tanah seluas dua hektare buat setiap keluarga tani, mustahil dapat diwujudkan. Kecuali kalau Prabowo dan adiknya, Hashim Djojohadikusumo, bersedia membagi jutaan hektare tanah yang mereka kuasai dalam bentuk perkebunan kelapa sawit, teh, jagung, jarak, akasia, padi, dan aren, serta ratusan ribu hektare hutan pinus, kepada jutaan petani.

Bagaikan zamrud di khatulistiwa, tanah-tanah pencetak dolar bagi kedua bersaudara Djojohadikusumo tersebar dari Aceh ke Papua. Di sekeliling Danau Lot Tawar di Aceh, mereka menguasai konsesi PT Tusam Hutani Lestari, seluas 96.000 ha. Konsesi itu sumber kayu pinus bagi pabrik PT Kertas Kraft Aceh (KKA) di Lhokseumawe. Di Sumatera Barat dan Jambi, mereka menguasai perkebunan kelapa sawit seluas lebih dari 30.000 ha di bawah PT Tidar Kerinci Agung.

Di Kaltim, mereka telah mengambil alih konsesi hutan PT Tanjung Redep HTI seluas 290.000 ha, yang dulu dikuasai Bob Hasan. Juga di Kaltim, mereka telah mengambilalih konsesi hutan seluas 350.000 ha dari Kiani Group yang dulu juga dikuasai Bob Hasan dan mengganti namanya menjadi PT Kertas Nusantara, berkongsi dengan Luhut B. Panjaitan, mantan Menteri Perdagangan pada era Habibie. Masih di provinsi yang sama, mereka menguasai konsesi hutan PT Kartika Utama seluas 260.000 ha, PT Ikani Lestari seluas 260.000 ha, serta perkebunan PT Belantara Pusaka seluas 15.000 ha lebih.

Bergeser ke Indonesia Timur, di Pulau Bima (NTB), mereka memiliki budi daya mutiara serta perkebunan jarak seluas seratus hektare untuk bahan bakar nabati. Sedangkan di Kabupaten Merauke, Papua, mereka berencana membuka Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) seluas 585.000 ha. Di Papua, mereka juga mengeksplorasi blok gas Rombebai di Kabupaten Yapen dengan kandungan
gas lebih dari 15 triliun kaki kubik.

Konsesi Migas

Semua ekspansi bisnis itu serta kampanye Gerindra dibiayai dari keuntungan Hashim dari bisnis migas. Pada masa kejayaan Soeharto, Hashim dan Arifin Panigoro diajak sang presiden bermuhibah ke negara-negara eks Uni Soviet yang kaya migas, seperti Kazakhstan dan Azerbaijan, dan membeli konsesi-konsesi migas di sana.

Krisis moneter yang disusul jatuhnya Soeharto, membuat para keluarga dan kroni Istana harus segera melunasi utang mereka yang dikelola BPPN. Arifin melepas ladang migasnya di Asia Tengah, 2000, sedangkan Hashim baru enam tahun kemudian melepas ladang migasnya di Kazakhstan, yang dikuasainya melalui Nations Energy Co. yang bermarkas di Calgary, Kanada. set itu dijualnya kepada CITIC Group (RRT) seharga US$ 1,91 miliar, atau Rp 17,2 triliun (Trust, 12-18 November 2007, hal. 11; Swasembada, 24 November.-3 Desember. 2008, hal. 113-114, 116; Globe Asia, Desember. 2008, hal. 49).

Pelepasan ladang migas Kazakhstan tidak mengakhiri kiprah Hashim di bidang migas, sebab di Azerbaijan ia masih memiliki ladang migas yang juga dioperasikan oleh Nations Energy Co. Tahun lalu, ladang itu pun ia lepas, karena "harganya bagus", kata Hashim kepada Swasembada.

Hasil penjualan ladang migas di Kazakhstan saja lebih dari cukup untuk membiayai kampanye Gerindra. Saldo partai ini paling besar di antara 38 parpol peserta Pemilu 2009, yakni Rp 15 miliar (Seputar Indonesia, 7/3).

Keluarga besar Djojohadikusumo ikut mendukung kampanye Gerindra. Selain Hashim, sebagai penyandang dana utama, jabatan Bendahara dipegang oleh keponakan Prabowo, Thomas Djiwandono. Putra sulung mantan Gubernur BI, Soedradjad Djiwandono, abang ipar Prabowo, juga menjabat sebagai Direktur Comexindo International (CI) milik Hashim. Dengan investasi sebesar US$ 6 juta, CI membawahi perkebunan karet, teh, dan jagung seluas total 1.200 ha di Jabar dan Minahasa (Sulut), sementara 21.000 ha sedang diurus di Kaltim. Juga ratusan ribu hektare perkebunan enau untuk produksi gula dan etanol sedang dirintis di Minahasa dan Papua (Swasembada, 24 November-3 Desember 2008).

Terlihat jelas bahwa kekayaan keluarga Soemitro Djojohadikusumo didapat karena kemudahan yang diberikan oleh rezim Soeharto. Jadi, pertanyaannya sekarang, seandainya Prabowo berhasil meraih kursi RI 2, bagaimana mencegah rezim mendatang tidak mengulangi kesalahan era Soeharto, waktu negara dikelola sebagai imperium bisnis keluarga besar presiden?



Sumber: http://www.opensubscriber.com/message/mediacare@yahoogroups.com/11656943.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar