Rabu, Juni 17, 2009

Menyoal Amandemen Pasal Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik

Kasus Prita versus RS Omni Internasional pasti akan terulang lagi kalau undang-undang yang memuat pasal-pasal penghinaan dan pencemaran nama baik tidak segera diubah atau diamandemen.


Pasal karet – istilah untuk pasal yang bisa diinterpretasikan sesuka hati karena tidak menjelaskan secara rinci pengertian-pengertian yang standar dan baku – seperti pasal penghinaan dan pencemaran nama baik pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), hanya akan menjadi bom-bom kecil – karena akan berulang kali meletus – dan memberikan gambaran buruk kepada masyarakat bahwa hukum ternyata bukan pembela kepentingan masyarakat luas, tetapi hanya menjadi senjata oknum untuk menegakkan egoisme pribadi.


Keengganan legislatif atau pembuat undang-undang dan eksekutif atau pemerintah yang memberikan usulan rancangan undang-undang untuk mengganti pasal-pasal karet dengan pasal-pasal yang lugas, tegas dan jelas memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa ada “sesuatu” dalam proses pembuatan undang-undang tersebut. Apakah “sesuatu” itu? Silakan saja diganti oleh Wikimuers dengan kata-kata lain.



Penjabaran makna kata penghinaan dan pencemaran nama baik


Untuk mengubah atau mengamandemen undang-undang yang memuat pasal karet penghinaan dan pencemaran nama baik perlu dilakukan penjabaran makna frasa penghinaan dan pencemaran nama baik itu sendiri. Kondisi bagaimana yang boleh dikatagorikan sebagai penghinaan dan pencemaran nama baik, dan unsur-unsur apa yang terkandung di dalam sebuah penghinaan dan pencemaran nama baik yang bisa dikenai sanksi hukum.


Nantinya dalam proses penjabaran makna ini harus diikutsertakan juga – selain pakar hukum dan administrasi negara - pakar-pakar sosiologi, antropologi, Bahasa Indonesia, bahasa-bahasa lain, psikologi, dan lain-lain yang berhubungan erat dengan sosial kemasyarakatan. Rumusan yang jelas dan lugas sebagai hasil kesepakatan para pakar tersebut bisa dipakai sebagai acuan baku untuk menjelaskan dan menerapkan makna penghinaan dan pencemaran nama baik di dalam perundang-undangan di Indonesia.



Pengertian menghina dan penghinaan


Sekedar sedikit bantuan pemikiran, penulis mencoba memberikan masukan sederhana mengenai perincian makna penghinaan yang mungkin bisa mewakili rasa keadilan masyarakat dengan tidak mengenyampingkan muatan ilmiahnya.


Sesuai kamus Bahasa Indonesia kata hina (kata sifat) bermakna 1 rendah kedudukannya (pangkatnya, martabatnya); 2 keji, tercela; tidak baik (tt perbuatan, kelakuan). Sedangkan frasa menghina (kata kerja) bermakna 1 merendahkan; memandang rendah (hina, tidak penting); 2 memburukkan nama baik orang; menyinggung perasaan orang (spt memaki-maki, menistakan).


Kalau hanya menggunakan penjelasan dari sudut pandang bahasa seperti tersebut di atas, sekilas isi pasal KUHP dan UU ITE tentang penghinaan dan pencemaran nama baik tersebut sudah sesuai. Tetapi permasalahan undang-undang bukan sekedar permasalahan bahasa, tapi merupakan masalah kemasyarakatan dan kenegaraan. Efek bola salju sebuah pasal karet bisa berkembang tidak terkendali menjadi rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap hukum, kepercayaan terhadap aparatur pemerintah bahkan negara secara luas.


Untuk menghindari efek negatif seperti disebutkan di atas, pemerintah harus segera menanggapi hal ini secara pro aktif dengan niat baik mencari solusi yang memuaskan segala pihak. Sehubungan dengan hal itu saya akan memberikan sedikit uraian sederhana dari sisi sosial kemasyarakatan pada umumnya.



Kodrat ilahi dan perbuatan manusia


Dipandang dari segi asal muasal sifat hina atau kehinaan yang disandang seseorang bisa berasal dari:

1. Apa yang sudah ada sejak lahir atau kodrat Tuhan; dan

2. Berdasarkan apa yang didapat kemudian, baik hasil perbuatan alam, diri sendiri atau orang lain.


Di sini tampak jelas bahwa apa pun yang sudah ada sejak lahir pada diri seseorang tidak bisa dihinakan karena dia sendiri tidak bisa untuk menolak atau merubah keadaan tersebut. Sebagai contohnya kecacatan, kebodohan, postur tubuh, wajah, cara bicara, gerak tingkah laku dan lain sebagainya.


Sedangkan faktor-faktor yang didapat kemudian atau hasil dari perbuatan bisa dikelompokkan menjadi dua hal:

1. Faktor yang tidak bisa diubah; dan

2. Faktor yang bisa diubah.


Faktor yang tidak bisa diubah seperti cacat, bekas luka, gangguan kejiwaan, dan lain sebagainya yang merupakan hasil perbuatan juga tidak bisa dihinakan karena sudah menjadi keadaan tetap.


Bagaimana dengan keadaan yang bisa ubah?


Di sinilah terdapat permasalahan sesungguhnya. Faktor-faktor yang bisa diubah atau diperbaiki dengan usaha tertentu merupakan hal yang perlu penjelasan detil. Karena perbaikan atas kondisi tersebut merupakan unsur utama yang menjadi pembahasan, maka hal tersebut bisa dihubungkan dengan kritik atau saran sebagai faktor perubah. Artinya kritik dan saran adalah faktor perubah agar terjadi sebuah perubahan atau perbaikan pada kondisi yang terjadi karena hasil perbuatan seperti disebutkan di atas.



Peran kritik dan saran


Kata kritik (kata benda) bermakna kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk thd suatu hasil karya, pendapat, dsb. Sedangkan mengkritik (kata kerja) bermakna mengemukakan kritik; mengecam.


Dari unsur kata pertimbangan yang disebutkan di atas sudah jelas bahwa kritik atau saran bersifat membangun atau bertujuan mengadakan perubahan ke arah perbaikan, dengan kata lain sebuah kritik atau saran sebaiknya memuat kejelasan apa-apa yang keliru dan memerlukan perbaikan dan bagaimana cara untuk mengatasinya (solusi). Sebuah kritik atau saran memang tidak secara langsung mengadakan perubahan atau perbaikan itu, tapi bisa menjadi pencetus munculnya ide atau pemikiran untuk mengadakan perubahan dan perbaikan pada diri orang yang dikritik atau diberi saran.


Sedangkan menurut objek orang yang dikritik dan diberi saran bisa dibedakan atas dua:

1. Bukan Profesional; dan

2. Profesional


Nah, untuk objek kritikan yang merupakan profesional seperti dokter, aparat hukum, pedagang, pengusaha, pejabat negara dan pemerintah, seperti presiden, menteri, anggota dewan dan lain-lain yang mempunyai permasalahan yang berhubungan erat dengan profesi atau pekerjaan yang digelutinya, apalagi menyangkut kepentingan dan pelayanan orang banyak, sudah sewajarnya dikatagorikan sebagai orang yang bisa dikritik dan diberi saran. Sedangkan subjek pengkritik dan pemberi saran tidak bisa dikenai sanki hukum, bahkan dilindungi oleh hukum.


Seorang pemberi kritik atau saran bisa menyampaikan keluhan atas pelayanan atau cara kerja seorang profesional yang buruk yang merugikan dirinya tanpa merasa terancam sanksi hukum sepanjang dirinya telah menunaikan kewajibannya, baik membayar sesuai ketentuan maupun kewajiban-kewajiban lainnya sebagai konsumen yang berhubungan dengan kegiatan profesional di atas.


Kritik atau saran untuk seorang profesional tidak harus disertai solusi dari pemberi kritik atau saran, karena tidak semua orang memahami cara kerja, sistem atau hal ikhwal yang berhubungan dengan objek kritikan. Ini akan menjadi tugas pihak yang dikritik untuk mencari pemecahan sendiri, karena dia adalah orang yang kompeten dan profesional pada bidang kerja yang menerima kritik atau saran.


Hak jawab seorang profesional sebagai akibat langsung dari munculnya hak mengkritik dan memberi saran dari konsumen merupakan proses sebab akibat yang secara hukum harus dijamin kelangsungan prosesnya. Pihak konsumen dijamin mendapatkan perlindungan hukum atas kritik dan sarannya, dan pihak profesional mendapatkan perlindungan hukum untuk menjawab dan memberikan penjelasan serta solusi.


Demikian semoga pihak-pihak terkait – termasuk dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah yang terhormat – membaca tulisan ini dan bisa mengambil intisari yang bisa bermanfaat untuk kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar