
Nusantara – nama
Pedagang-pedagang dari berbagai benua itu singgah di Nusantara untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke benua yang lain. Dalam persinggahtannya mereka bukan hanya membawa barang dagangan untuk diperjualbelikan, tapi juga membawa budaya, adat istiadat, faham, pandangan, ideologi dan agama yang terikut dalam peri kehidupan mereka sehari-hari, yang kemudian ditransfer kepada penduduk setempat di mana mereka singgah. Transfer budaya yang berlangsung secara sengaja atau tidak sengaja tadi bertemu dengan unsur budaya lokal, ada yang ditolak namun lebih banyak lagi yang diterima dan berasimilasi dengan budaya lokal.
Kebanyakan budaya seperti agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen datang secara damai dibawa oleh para pemuka agama dan dengan lembut disampaikan kepada masyarakat lokal yang kemudian menganutnya sebagai agama dan kepercayaan mereka. Penerimaan terhadap keyakinan dan agama ini tidak murni, tetapi terjadi perpaduan yang unik dan khas dengan unsur budaya lokal, sehingga bisa dibedakan bagaimana agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen di Indonesia sangat khas Indonesia atau tidak sama lagi dengan agama-agama itu di tempat asalnya.
Setelah kedatangan agama-agama,
Masing-masing agama dan ideologi umumnya mempunyai dasar pemikiran yang berbeda dan saling bertentangan. Semua agama dan faham itu sekarang ada di
Eforia reformasi yang menjebak kita dalam kenikmatan liberalisme melahirkan histeria yang menuntut kebebasan mutlak sebagai warga negara. Tetapi ketika dihadapkan kepada kebebasan mutlak pemerintahan dalam mengelola ekonomi dan politik, tiba-tiba masyarakat menjadi alergi.
Kebebasan berbicara ada dalam kerangka berpikir liberalisme, sedangkan agama (contohnya Islam) tidak menganut pemikiran bebas berbicara. Bergunjing (bergosip) dalam Islam hukumnya haram, begitu juga memfitnah dan mencaci maki. Bahkan memberi gelar atau sebutan yang jelek saja dilarang. Dalam Islam kesalahan seseorang atau sekelompok orang harus dibuktikan di depan pengadilan dengan cukup saksi dan bukti.
Komputer, Internet, e-mail, blog, telepon genggam, televisi,
Kasus tuntutan masyarakat – yang sebagian besar Muslim – akan kebebasan berbicara dan berekspresi tampak sangat berlawanan dengan kasus penolakan faham neo liberalisme yang diisukan sedang berkembang di Indonesia. Di sini kelihatan sekali bahwa masyarakat tidak memahami bahwa mereka sedang berjuang menegakkan salah satu pilar liberalisme itu sendiri, yakni kebebasan mutlak untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat, tetapi di sisi lain mereka menentang pasar bebas dan ekonomi liberal. Benar-benar kebingungan khas
Sumber gambar : http://44.img.v4.skyrock.com/443/pravda-internationale/pics/1184674192_small.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar