Senin, Juni 08, 2009

Indonesia dalam Kenikmatan Juice Ideologi-Agama yang Membingungkan

Nusantara – nama Indonesia dulu – dikenal sebagai titik pertemuan jalur perdagangan dunia di masa lalu. Ketika perdagangan antar benua masih melalui jalan laut, maka dicarilah jalan pintas yang aman – baik dari gangguan manusia berupa perompak laut, atau gangguan alam seperti gelombang yang tinggi atau badai laut – dan dipilihlah kepulauan Nusantara sebagai titik persimpangan jalur laut antar benua.


Pedagang-pedagang dari berbagai benua itu singgah di Nusantara untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke benua yang lain. Dalam persinggahtannya mereka bukan hanya membawa barang dagangan untuk diperjualbelikan, tapi juga membawa budaya, adat istiadat, faham, pandangan, ideologi dan agama yang terikut dalam peri kehidupan mereka sehari-hari, yang kemudian ditransfer kepada penduduk setempat di mana mereka singgah. Transfer budaya yang berlangsung secara sengaja atau tidak sengaja tadi bertemu dengan unsur budaya lokal, ada yang ditolak namun lebih banyak lagi yang diterima dan berasimilasi dengan budaya lokal.


Kebanyakan budaya seperti agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen datang secara damai dibawa oleh para pemuka agama dan dengan lembut disampaikan kepada masyarakat lokal yang kemudian menganutnya sebagai agama dan kepercayaan mereka. Penerimaan terhadap keyakinan dan agama ini tidak murni, tetapi terjadi perpaduan yang unik dan khas dengan unsur budaya lokal, sehingga bisa dibedakan bagaimana agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen di Indonesia sangat khas Indonesia atau tidak sama lagi dengan agama-agama itu di tempat asalnya.


Setelah kedatangan agama-agama, Indonesia juga kedatangan faham-faham atau ideologi. Ideologi ini bukan agama tapi merupakan cara berpikir khusus mengenai peri kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik. Ideologi ada yang datang bersama penjajah (kolonial Belanda atau imperialis Inggris) yang memaksakan penerapan ideologi tersebut melalui undang-undang yang dibuat oleh mereka untuk dilaksanakan oleh bangsa jajahan, seperti faham kapitalisme. Namun ada juga yang dibawa oleh para cendekiawan lokal yang menempuh pendidikan di tempat lain di mana ideologi tersebut berkembang, seperti faham demokrasi, liberalisme, komunisme, materialisme dan lain-lain.


Masing-masing agama dan ideologi umumnya mempunyai dasar pemikiran yang berbeda dan saling bertentangan. Semua agama dan faham itu sekarang ada di Indonesia dan diadopsi oleh penduduk Indonesia serta diterapkan dalam kehidupan seharinya-harinya. Setiap orang tidak hanya menganut satu agama saja tapi juga meyakini ideologi yang lain. Agama dan ideologi tersebut seperti campuran sari buah di dalam segelas juice. Semuanya diramu dan diblender dalam pemikiran kita. Sampai-sampai tidak bisa lagi dibedakan, mana yang ideologi mana yang agama. Bahkan beberapa ideologi pun bingung untuk diidentifkasi, sehingga akhirnya masyarakat kita mengalami sindrom kebingungan ideologi, dan tenggelam dalam kenikmatan kebingungan tersebut.


Eforia reformasi yang menjebak kita dalam kenikmatan liberalisme melahirkan histeria yang menuntut kebebasan mutlak sebagai warga negara. Tetapi ketika dihadapkan kepada kebebasan mutlak pemerintahan dalam mengelola ekonomi dan politik, tiba-tiba masyarakat menjadi alergi.


Kebebasan berbicara ada dalam kerangka berpikir liberalisme, sedangkan agama (contohnya Islam) tidak menganut pemikiran bebas berbicara. Bergunjing (bergosip) dalam Islam hukumnya haram, begitu juga memfitnah dan mencaci maki. Bahkan memberi gelar atau sebutan yang jelek saja dilarang. Dalam Islam kesalahan seseorang atau sekelompok orang harus dibuktikan di depan pengadilan dengan cukup saksi dan bukti.


Komputer, Internet, e-mail, blog, telepon genggam, televisi, surat kabar adalah produk teknologi barat yang sangat ampuh untuk semakin mempopulerkan ideologi liberalisme. Masyarakat yang awam dalam pemahaman ideologi mudah untuk terbawa arus dan ikut-ikutan mengusung ideologi ini. Kasus Prita versus RS OMNI International berhubungan erat dengan UU ITE yang berkesan mengekang kebebasan berpendapat, yang nota bene salah satu pilar liberalisme. UUD 45 kita juga mengadopsi faham kebebasan berpendapat tetapi dengan sedikit modifikasi sehingga menjadi pasal 28 yang berbunyi: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Sangat jelas di sini terbaca bahwa kebebasan berbicara itu diatur dengan undang-undang, salah satunya adalah UU ITE itu.


Kasus tuntutan masyarakat – yang sebagian besar Muslim – akan kebebasan berbicara dan berekspresi tampak sangat berlawanan dengan kasus penolakan faham neo liberalisme yang diisukan sedang berkembang di Indonesia. Di sini kelihatan sekali bahwa masyarakat tidak memahami bahwa mereka sedang berjuang menegakkan salah satu pilar liberalisme itu sendiri, yakni kebebasan mutlak untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat, tetapi di sisi lain mereka menentang pasar bebas dan ekonomi liberal. Benar-benar kebingungan khas Indonesia.




Sumber gambar : http://44.img.v4.skyrock.com/443/pravda-internationale/pics/1184674192_small.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar