Kamis, September 03, 2009

Fakta Sejarah dan Analisa Kepentingan di Balik Kisruh Hubungan Indonesia-Malaysia

Hubungan Indonesia dengan Malaysia akhir-akhir ini tampak semakin memanas. Intervensi wilayah sekitar perbatasan laut oleh Angkatan Laut Diraja Malaysia, kekalahan Indonesia atas kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan di Mahkamah Internasional, penganiayaan sejumlah TKI oleh beberapa oknum warga Malaysia, klaim obyek seni dan budaya Indonesia oleh pihak Malaysia dalam rangka promosi wisata kunjungan ke sana, dan yang terakhir adalah pelecehan lagu kebangsaan Indonesia Raya oleh pihak yang tidak dikenal, adalah sederetan fakta-fakta yang menunjukkan ada upaya terencana dan sistematis untuk memperburuk hubungan kedua negara.


Konfrontasi dengan “Ganyang Malaysia


Sejarah mencatat hubungan buruk tersebut bermula dari semangat anti kolonialisme dan imperialisme Presiden RI pertama Ir. Soekarno yang begitu bergelora, ditunjang dengan rasa nasilonalisnya yang tinggi, membuat Bung Karno begitu marah ketika mengetahui Malaysia berencana membentuk federasi Malaysia – dengan menarik Sabah, Serawak, Brunei dan Singapura ke dalam persemakmuran Inggris Raya (Commont Wealth) bersama-sama dengan Persekutuan Tanah Malaya – setelah sebelumnya diberi kemerdekaan oleh Inggris tanggal 31 Agustus 1963. Bagi Bung Karno hal itu sama dengan memberi peluang kepada imperialis Inggris untuk berkuasa di Kalimantan Utara, dan berarti bisa membahayakan kemerdekaan Indonesia.


Kemarahan Bung Karno pun semakin memuncak disebabkan tindakan para demonstran anti Indonesia di Kuala Lumpur pada tanggal 18 September 1963 – dua hari setelah pembentukan Federasi Malaysia oleh Inggris tanggal 16 September 1963 – yang merobek-robek gambarnya dan memaksa Perdana Menteri Malaysia pada waktu itu, Tengku Abdul Rahman, untuk menginjak-injak gambar Garuda Pancasila. Rasa nasionalisme Bung Karno terusik, maka lahirlah semangat memerangi Malaysia dengan “Ganyang Malaysia”-nya, yang kemudian menjadi sebuah peperangan, konfrontasi terhadap Malaysia yang berlangsung hingga masa akhir jabatannya.


Reformasi dan Soekarnoisme


Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto lengser dari kekuasaannya, dan menyerahkannya kembali kepada rakyat dalam hal ini Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang kemudian menunjuk B.J. Habibie, yang waktu menjabat sebagai Wakil Presiden, sebagai Presiden Ad-interim sampai dilaksanakannya Pemilu tahun 1999. Lengsernya Soeharto menandai berakhirnya era kekuasaan Orde Baru dan memasuki era Reformasi, yang merupakan hasil gerakan mahasiswa Indonesia yang dimulai sejak tahun sembilan puluhan.


Perlu diperhatikan bahwa konfrontasi terhadap Malaysia berakhir ketika Jenderal Soeharto berkuasa, dan selanjutnya hubungan baik dengan Malaysia terus dibina oleh persahabatan yang manis antara Soeharto sebagai Presiden RI dengan Mahathir Mohammad sebagai Perdana Menteri Malaysia pada waktu itu. Tercatat pembentukan ASEAN (South East Asian Nation) atau organisasi bangsa-bangsa di Asia Tenggara diprakarsai oleh kedua pemimpin ini.


Pada tanggal 7 Juni 1999 diselenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) ke-8 sepanjang sejarah politik kita, dan pertama sepanjang sejarah reformasi. Meskipun Pemilu baru saja diselenggarakan dua tahun sebelumnya, yakni tahun 1997, namun untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru, di mana dipilih dan ditetapkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden ke-4 RI dengan Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden.


Dalam kampanye politik beberapa partai politik yang berfaham nasionalis, dimunculkan kembali semangat Soekarnoisme. Di mana-mana gambar mantan presiden pertama itu ditampilkan berikut cerita-cerita heroik dan rasa nasionalisnya yang tinggi, serta semangatnya yang sangat anti penjajahan, kolonialisme dan imperialisme, termasuk cerita tentang konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia. Melihat hal itu beberapa pihak mengkhawatirkan terbukanya luka lama di kedua belah pihak mengenai hubungan buruk di masa lalu.


Kasus tapal batas teritorial negara


Kasus pulau Ambalat sebetulmnya merupakan kasus lama yang berawal pada tahun 1967 ketika pertama kali diadakan pertemuan teknis hukum laut antara Indonesia dan Malaysia di mana kedua belah pihak akhirnya membentuk kesepakatan (kecuali Sipadan dan Ligitan diberlakukan sebagai keadaan status quo).


Pada tanggal 27 Oktober 1969 dilakukan penandatanganan perjanjian antara Indonesia dan Malaysia yang disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia, di mana kedua negara masing-masing melakukan ratifikasi pada 7 November 1969. Namun tidak lama berselang, masih pada tahun 1969, Malaysia membuat peta baru yang memasukan pulau Sipadan, Ligitan dan Batu Puteh (Pedra blanca) ke dalam wilayahnya, tentunya hal ini membingungkan Indonesia dan Singapura, dan pada akhirnya Indonesia maupun Singapura tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut.


Kemudian pada tanggal 17 Maret 1970 kembali ditandatangani Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia, akan tetapi kembali pada tahun 1979 pihak Malaysia kembali membuat peta baru mengenai tapal batas kontinental dan maritim dengan serta merta secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat kedalam wilayahnya yaitu dengan memajukan koordinat 4° 10' arah utara melewati pulau Sebatik. Tentu peta ini pun sama nasibnya dengan terbitan Malaysia pada tahun 1969, yakni diprotes dan tidak diakui oleh pihak Indonesia.


Dengan berkali-kali pihak Malaysia membuat peta sendiri padahal setelah adanya Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia tahun 1969 dan Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia tahun 1970, bagi masyarakat Indonesia melihatnya sebagai bentuk ekspansi dari pihak Malaysia terhadap wilayah Indonesia.


Tindakan Malaysia tidak hanya sampai di situ, tetapi berlanjut dengan aksi-aksi sepihak seperti menangkap dan mengusir nelayan Indonesia dari wilayah Ambalat, dan pemerintah Malaysia ikut-ikutan memberikan hak menambang kepada perusahaan asing di Ambalat. Masalah tapal batas wilayah di sekitar pulau Sipadan, Ligitan, Batu Puteh dan Ambalat ini berujung kepada ketegangan-ketegangan yang terus terjadi antara angkatan laut kedua negara di daerah perbatasan laut tersebut.


Sebagai puncaknya adalah keputusan Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, dalam sidangnya pada tanggal 17 Desember 2002 yang memutuskan bahwa dalam kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, Indonesia dinyatakan kalah dari Malaysia, dan Malaysia berhak atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dengan dasar efektivitas. Dalam beberapa hal, Mahkamah Internasional menerima argumentasi Indonesia bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan tidak pernah masuk dalam kesultanan Sulu seperti yang diklaim Malaysia. Namun, di sisi lain, Mahkamah Internasional mengakui klaim-klaim Malaysia bahwa mereka telah melakukan administrasi serta pengelolaan konservasi alam di kedua pulau tersebut. (www.gatra.com)


Blok Ambalat kembali memanas dalam tahun ini ketika beberapa kali kapal perang Diraja Malaysia memasuki wilayah teritorial milik Indonesia, yang berhasil diusir oleh kapal perang Angkatan Laut RI. Tindakan memanas-manasi dari pihak Malaysia ini, masih ditanggapi dengan kepala dingin oleh Pemerintah Indonesia, sementara masyarakat Indonesia melihatnya sebagai sebuah kelemahan kita terhadap tindakan sewenang-wenang pemerintah Malaysia.


Insiden-insiden lain sebagai pemicu


Istilah “Ganyang Malaysia” kembali mencuat setelah dipicu oleh aksi pemukulan wasit karate asal Indonesia Donald Peter Luther Kolobita, Jumat (24/8/2007) di Kuala lumpur. Sekelompok pengunjuk rasa kemudian membakar bendera Malaysia di Medan dan Jakarta, Rabu (29/8). Aksi ini kemudian meluas ke seluruh Indonesia diiringi desakan agar Pemerintah Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia. Kejadian ini mengagetkan pemerintah kedua negara, namun permasalahan berhasil diselesaikan, dan keempat polisi diraja Malaysia itu dinyatakan sudah diskors.


Berita mengenai penganiayaan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri sepertinya sudah menjadi makanan sehari-hari di media-media kita. TKI yang bermaksud mencari rezeki di negeri orang ini, pada akhirnya hanya pulang dengan penderitaan, diperkosa, dianiaya, dan bahkan sampai meninggal dunia.


Kasus penganiayaan TKI di Malaysia termasuk yang paling sering. Penistaan warga Indonesia di Malaysia, khususnya yang berprofesi sebagai pembantu rumah tangga, seringkali berakhir tragis seperti penganiayaan hingga cacat bahkan meninggal dunia. Sedangkan rekaman film mengenai pemukulan orang yang diduga TKI disebuah tempat yang diduga kantor polisi Diraja Malaysia, semakin memanaskan keadaan. Padahal penyebaran rekaman film ini perlu dicurigai seperti ada unsur kesengajaan untuk semakin mempertajam kebencian kita kepada Malaysia.


Insiden lainnya adalah klaim obyek seni dan budaya Indonesia oleh pihak-pihak di Malaysia (pemerintah dan swasta). Dari klaim lagu Rasa Sayange, seni Batik, musik Gamelan, tari Reog Ponorogo, dan lain-lain, termasuk yang terakhir pemuatan seni tari Pendet dari Bali dalam iklan promosi pariwisata mereka. Perlu diketahui, berdasarkan sebuah informasi dari warga Malaysia sendiri, ternyata mereka tidak begitu jelas mengenai permasalahan klaim-klaim obyek seni dan budaya Indonesia oleh negaranya. Bahkan hubungan antara mereka dengan beberapa mahasiswa Indonesia di Malaysia baik-baik saja dan tidak pernah ada masalah.


Analisa pihak-pihak berkepentingan di balik kisruh hubungan Indonesia-Malaysia


Dalam setiap sengketa dan pertikaian di dunia ini, baik antar negara maupun internal sebuah negara, selalu melibatkan kepentingan-kepentingan banyak pihak, baik asing maupun lokal. Faktor ekonomi dan politik biasanya menjadi alasan campur tangan pihak-pihak tersebut untuk ikut memancing di air keruh dan mengambil manfaat apabila persengketaan berubah menjadi pertikaian dan peperangan.


Sekarang, marilah kita melakukan analisa dengan melihat faktor ekonomi dan politik, serta beberapa kemungkinan yang akan terjadi apabila pihak-pihak yang berkepentingan ikut melakukan manuver agar maksudnya terealisasi.

Pihak-pihak yang kemungkinan ikut mengambil manfaat apabila Indonesia-Malaysia benar-benar bertikai dan terjadi peperangan, adalah:


1. Malaysia sendiri.


Malaysia mempunyai kepentingan dengan sumber-sumber minyak, gas bumi dan sumber-sumber hayati laut di wilayah laut Indonesia yang sangat kaya. Batas wilayah negara di laut mempunyai kekuatan hukum yang sangat lemah, karena sebagai warisan penjajah batas-batas daerah jajahan di laut tidak ditetapkan dengan pasti antara Belanda sebagai penjajah Indonesia dengan Inggris sebagai penjajah Malaysia. Akhirnya digunakan data sejarah mengenai batas-batas wilayah kerajaan di masa lalu sebagai dasar, dan ini juga masih bisa diperdebatkan.


Selain itu sejarah mencatat mengenai adanya Gagasan pembentukan “Melayu Raya” ketika Indonesia-Filipina-Malaysia berencana mendirikan Maphilindo, singkatan dari Malaysia-Philipina-Indonesia di Manila pada 1963. Para presiden dari ketiga negara tersebut mengumumkan Deklarasi Manila yang menggabungkan negara mereka ke dalam Maphilindo.

Dalam pidato penutupan, Presiden Filipina Macapagal mengajak hadirin untuk mengenang kembali mimpi para nasionalis Filipina mulai Jose Rizal, Presiden Manuel Quezon, Wenceslao Vinzons, sampai Presiden Elpidio Quirino untuk menyatukan bangsa-bangsa Melayu. Macapagal menyebut Presiden Indonesia Soekarno dan Perdana Menteri Malaysia Tengku Abdul Rahman sebagai “two of the greatest sons of the Malay race“.


Gagasan ini berdasarkan peta antropologi bangsa-bangsa di mana Indonesia, Malaya, Temasek (Singapura), Filipina, Thailand, Burma (MYanmar), Vietnam, Kambodia, sampai Madagaskar dan Hawaii dikenal sebagai bangsa serumpun Melayu-Polinesia. Tapi sayang ide ini pudar seketika setelah Presiden RI Soekarno menyatakan perang terhadap Malaysia yang telah menjadi boneka imperialis Inggris.


Malaysia yang merasa sebagai satu-satunya negara perhimpunan bangsa Melayu bisa saja berkeinginan untuk mewujudkan Melayu Raya itu di bawah kepemimpinannya. Meskipun menurut sejarah kerajaan Melayu pertama adalah kerajaan Malayapura di Sumatera – di bawah kekuasaan Majapahit – dengan rajanya Adityawarman tahun 1347. Adityawarman adalah utusan Majapahit untuk menaklukan kerajaan Sriwijaya, yang kemudian berhasil memaksa Parameswara, putra Raja Sam Agi untuk melarikan diri ke Semenanjung Malaya dan mendirikan kerajaan Malaka (1380-1403). Malaka kemudian jatuh ke tangan Portugis tahun 1511.


2. Inggris


Sebagai pemimpin negara persemakmuran (commont wealth) dan bekas penjajah negara-negara anggotanya tersebut, tentu saja Inggris mempunyai kepentingan atas kekayaan negera-negara anggotanya. Dengan kepentingan ekonomi dan juga politik atas wilayah-wilayah Indonesia, bisa saja Inggris ikut memberikan bantuan militer kepada Malaysia dalam konflik ini.


Melihat kondisi perekonomian AS yang anjlok sekarang ini, bisa saja muncul keberanian Inggris untuk membuka front perlawanan melalui kaki tangannya, Malaysia, untuk merebut sumber minyak di Indonesia yang sekarang dikuasai perusahaan-perusahaan besar AS. Seperti diketahui Angkatan Laut Inggris adalah pasukan tempur laut terbaik di dunia, sehingga denga modal ini Inggris cukup berani berhadapan dengan AS di Asia Tenggara.


3. Amerika Serikat (AS)


Kondisi ekonomi AS yang sedang mengalami penurunan berpengaruh terhadap kondisi perusahaan-perusahaan minyaknya yang sekarang sedang beroperasi di Indonesia. AS tentu tidak mau hak eksplorasi minyak di lepas pantai Indonesia akan jatuh ke tangan Inggris yang berada di belakang Malaysia. Kemungkinan besar AS akan memberikan bantuan militer kepada Indonesia apabila Malaysia memulai penyerangan dan perang tidak bisa dihindari.


Selain itu perseteruan AS dengan Korea Utara mengenai senjata berhulu ledak nuklir milik Korut semakin memanas, yang mungkin akan memaksa AS untuk menempatkan persenjataannya di wilayah Asia, dalam hal ini yang terdekat dengan Kores Utara adalah Asia Tenggara. Apabila terjadi peperangan antara Indonesia dengan Malaysia, maka AS mempunyai alasan untuk menempatkan kapal perang dan persenjataannya dengan membuat pangkalan militer di Indonesia.


4. Republik Rakyat Cina (RRC)


Sebagian besar orang-orang keturunan Cina di negara-negara Asia Tenggara bergerak di bidang perdagangan dan ekonomi, sebagian adalah para konglomerat dan pengusaha kelas dunia. Orang-orang keturunan Cina umumnya tidak bisa melepaskan diri dari keterkaitan budaya dengan tanah leluhurnya di Cina, termasuk juga dengan pemerintahan yang sedang berkuasa di sana.


Keterikatan yang nyata adalah para pengusaha konglomerat keturunan tersebut menempatkan sebagian besar dana investasi usahanya di Cina. Mereka juga mempunyai hubungan bisnis dengan banyak pengusaha di tanah leluhur.

Selain keterikatan budaya dan ekonomi, warga keturunan Cina juga ada yang mempunyai hubungan politik dengan pemerintah Cina yang sosialis komunis. Sejarah mencatat ada Partai Komunis Malaysia di era 60-an yang sebagian besar penggeraknya adalah warga keturunan.


Ada kemungkinan pergerakan komunisme di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia mempunyai keterkaitan yang terencana. Bisa saja para aktivis komunis di Malaysia, Indonesia dan Cina saling berhubungan dan bersama-sama memblow-up isu-isu pertentangan agar situasi semakin memanas, khas gaya komunis, dengan cara mencetuskan masalah, ikut mempublikasikannya, dan terakhir ikut berdemonstrasi agar suasana berkesan semakin kisruh.


Kepentingan RRC yang terbesar adalah perluasan skop ekonomi dan politik mereka, sehingga negara-negara yang dikuasai komunis akan berkiblat secara ekonomi dan politik ke negara tirai bambu tersebut, atau dengan kata lain RRC berniat membentuk RRC yang lebih luas atau Cina Raya.


Menurut sejarah gerakan komunis di Indonesia mudah untuk membonceng pada organisasi atau orang berfaham nasionalis, seperti PKI yang didukung oleh Bung Karno disebabkan PKI satu-satunya yang mendukung program “Ganyang Malaysia”-nya Soekarno. Maka mungkin saja kelompok komunis berkeinginan untuk mengulang sejarah di masa lalu dengan mengatasnamakan nasionalisme mereka bergerak merealisasikan cita-citanya, mengkomuniskan Indonesia dan Malaysia.


5. Indonesia


Kepentingan Indonesia terutama adalah mempertahankan wilayahnya, harga diri bangsa dan aset-aset sumber kekayaan alam berupa minyak bumi lepas pantai, hutan kayu di daerah perbatasan dan sumber daya hayati laut. Sedangkan kemungkinan adanya kepentingan politik sangat kecil.


6. Gerakan kelompok Islam radikal


Gerakan kelompok Islam radikal yang akhir-akhir ini semakin menjadi sorotan setelah beberapa kali melakukan insiden pengebomam di beberapa negara termasuk di Indonesia ada kemungkinan ikut mengambil manfaat dari keruhnya situasi hubungan Indonesia dengan Malaysia ini. Cita-cita mereka untuk mendirikan Negara Islam Indonesia – untuk gerakan lokal Indonesia – mungkin bisa berkembang menjadi Negara Islam Asia Tenggara, dengan menjalin kerjasama dengan kelompok-kelompok Islam radikal di Malaysia, Moro di Filipina dan Pattani di Thailand.


Mungkinkah perang akan terjadi?


Kemungkinan perang benar-benar terjadi sangat kecil apabila dilihat dari kondisi hubungan AS dan Inggris. Kedua negara ini selalu sefaham, baik di bidang politik dan ekonomi, dari era “Perang Dingin” melawan Uni Sovyet, perang melawan Irak, hingga perlawanan terhadap teroris Al-Qaeda. Kecuali perang dimulai sendiri oleh Malaysia atau Indonesia, atau kesepakatan keduanya tanpa mendengarkan suara AS dan Inggris.


Apabila mendengar berita terakhir mengenai terjadi peningkatan kekuatan angkatan bersenjata oleh militer kedua belah pihak, Indonesia dan Malaysia, di daerah perbatasan, maka analisanya adalah kedua negara berusaha keras mencegah terjadi pertikaian sporadis di pihak sipil kedua negara karena terpancing situasi yang kian memanas. Kalau analisa ini benar, kemungkinan perang akan terjadi benar-benar kecil sekali.


Ada yang perlu dicermati sehubungan dengan insiden-insiden yang memicu kemarahan warga Indonesia terhadap Malaysia akhir-akhir ini, bahwa kemungkinan sebagian insiden-insiden itu dilakukan dengan terencana oleh pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dari kekisruhan hubungan Indonesia-Malaysia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar