Senin, Agustus 31, 2009

Rahasia Tak Bahagia Jadi Tak Berarti

Ketika apa yang kita inginkan tidak tercapai, maka kita merasa kecewa; rasa tidak bahagia membuat dunia terasa sempit, dan masa depan seakan suram. Kita semua pernah merasa tidak bahagia, tapi apakah harus begitu?


Bahagia dan tidak bahagia adalah masalah perasaan. Pengaruhnya terhadap kita sangat bergantung dengan sudut pandang kita tentang perasaan itu sendiri. Seperti kisah seorang murid yang tidak bahagia berikut ini.


Suatu hari Si Maha Guru melihat seorang muridnya sedang duduk di bawah pohon, di tepi sebuah danau. Raut wajahnya tampak murung, dan garis bibirnya menunjukkan bahwa perasaanya sedang tidak bahagia. Si Maha Guru mendekatinya, dan bertanya, “Wahai muridku, maukah kau kuberitahukan cara agar hatimu tidak lagi merasa sedih?”


“Tentu saja, Guru.” Jawab si murid sambil menatap mata gurunya penuh harap.


“Sekarang ambil segenggam garam di dapur, beserta sebuah gelas berisi air, lalu engkau kembali ke sini,” perintah Si Maha Guru kepada muridnya, yang terheran-heran mendengar perintah itu, dan dalam hatinya bertanya. “Apakah segenggam garam bisa menghilangkan rasa sedihku?”


“Ini, Guru,” kata si murid sambil menunjukkan segenggam garam di telapak tangannya dan sebuah gelas berisi air di tangan lainnya kepada Si Maha Guru.


“Sekarang kau taruh garam itu di dalam gelas, lalu kau aduk dan minumlah.”


Si murid melakukan apa yang diperintahkan gurunya. Tentu saja rasa air itu menjadi sangat asin, namun karena takut dimarahi, dia tetap meminumnya sampai habis. Tetapi sedikitpun dia tidak merasakan rasa tidak bahagia di hatinya berkurang, kecuali rasa asin memenuhi mulut dan kerongkongannya.


“Apakah yang engkau rasakan, muridku?” Tanya Si Maha Guru sambil tersenyum melihat wajah muridnya yang berubah kecut.


“Sangat asin Guru.” Jawab si murid singkat sambil terus berusaha mengurangi rasa asin di mulutnya.


Si Maha Guru tertawa kecil. Lalu disuruhnya si murid kembali mengambil segenggam garam di dapur, namun kali ini tidak disuruhnya untuk memasukkan garam itu ke dalam segelas air, tapi dimintanya melemparkannya ke dalam danau di dekatnya.


“Sekarang kamu minumlah air danau itu.” Perintah Si Maha Guru kepada muridnya yang makin terheran-heran, dan berujar di dalam hati. “Tadi aku disuruh minum segelas air bercampur garam, sekarang disuruh meminum air danau.”


Si murid duduk bersujud di tepi danau sambil mendekatkan kepalanya ke air, dan meminum airnya. Setelah seteguk dia minum, diangkat kepalanya dan air menetes dari dagunya, lalu Si Maha Guru bertanya, “Bagaimana rasanya air danau itu? Apakah engkau merasakan asin seperti air di dalam gelas tadi?”


“Tidak, Guru,” jawab si murid. “Rasanya seperti air danau biasa saja.”


Si Maha Guru kemudian duduk di samping si murid, lalu dibelainya kepalanya dengan penuh kasih sayang sambil berkata, “Rasa sakit dalam hidup adalah segenggam garam di tanganmu, tidak lebih dan tidak kurang. Jumlah penderitaan dalam hidup tetap jumlahnya, benar-benar tepat sama. Tetapi jumlah yang kita rasakan tergantung pada besarnya tempat di mana kita memasukkan garam itu. Maka ketika engkau merasakan sakit hati, satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah memperbesar hati kita. Ini berarti memperbesar pengertian kita akan hidup. Berhentilah menjadi gelas. Jadikan hatimu seluas danau. Jadilah danau.


Si murid menatap wajah gurunya yang sejuk, dan tersenyum bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar