Sabtu, Agustus 01, 2009

7 Prinsip Pendidikan Tanpa Kekerasan

Dewasa ini banyak pendidik atau guru dan para orang tua yang kebingungan menghadapi perubahan zaman yang sangat cepat di mana era kebebasan, keterbukaan dan kemajuan sains teknologi telah mempengaruhi anak didik dan remaja pada umumnya begitu rupa sehingga mereka menjadi lebih bebas, terbuka dan berpikir maju dalam membela hak-haknya.


Ketika Indonesia memasuki era reformasi politik, yang kemudian mengalami pelebaran hingga reformasi di bidang hukum, hal-hal yang dulunya tidak begitu dimengerti oleh masyarakat umum akhirnya difahami dengan baik, terutama dengan adanya kebebasan media dalam memberitakannya. Hal itu adalah pemahaman tentang hak-hak asasi manusia secara luas. Apalagi ditunjang dengan ketersediaan sarana undang-undang yang diperkuat oleh publikasi media yang tanpa tekanan.


Undang-undang Perlindungan Anak dan Undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah contoh ketentuan yang sangat memperhatikan hak-hak asasi anak dalam perannya di antara orang dewasa. Kelemahan dari segi fisik dan kelabilan mental yang belum dewasa pada anak dan remaja, dilindungi oleh kedua undang-undang ini dari kekuasaan orang dewasa yang sewenang-wenang. Pelanggaran terhadap kedua perundangan ini dikatagorikan pidana dan bisa menyeret pelakunya ke dalam penjara.



Sejarah kekerasan di dunia pendidikan


Pendidikan dan pengajaran memang tidak identik dengan kekerasan, baik di masa yang lalu apalagi sekarang ini. Tapi kekerasan sering kali dihubung-hubungkan dengan kedisiplinan dan penerapannya dalam dunia pendidikan. Istilah “tegas” dalam membina sikap disiplin pada anak didik, sudah lazim digantikan dengan kata “keras”. Hal ini kemudian ditunjang dengan penggunaan kekerasan dalam membina sikap disiplin di dunia militer, khususnya pendidikan kemiliteran.


Ketika kemudian cara-cara pendidikan kemilitera itu diadopsi oleh dunia pendidikan sipil, maka cara “keras” ini – istilah sekarang adalah kekerasan – juga ikut diambil alih. Teriakan, tendangan, tamparan menjadi cara-cara biasa dalam membina kedisiplinan anak didik, khususnya di bidang pelajaran yang melatih fisik seperti olah raga.


Namun saya tidak bermaksud mengatakan bahwa semua guru olah raga suka main pukul. Tapi sejarahnya sering kali mengidentikan guru olah raga dengan guru yang suka menghukum – push up atau lari keliling lapangan – dan suka memukul atau menendang terutama anak yang bandel.


Dari sinilah kemudian cara kekerasan dicontoh oleh guru-guru di bidang lain – biasanya materi pelajaran yang “berat” bagi siswa secara umum, misalnya matematika dan ilmu pengetahuan alam. Kekerasan pendidik di bidang ini bisa berbentuk bentakan, merobek buku pe-er bagi yang lupa melakukan pekerjaan rumahnya, atau menyuruh anak didik berdiri di tengah lapangan pada hari panas terik.



Bagaimanakah seharusnya para guru, pendidik dan pengajar, bersikap menghadapi kebandelan siswa tanpa harus menggunakan kekerasan?


Anak didik tidak jauh berbeda dengan manusia biasa. Mereka akan membentuk pertahanan diri apabila diserang. Pertahanan itu berupa balas membentak apabila dimarahi, melawan dengan fisik kalau disakiti, atau lari bila dia merasa tidak mempunyai kemampuan membalas.


Seni menghadapi anak didik sama seperti seni menghadapi anak-anak da remaja pada umumnya. Mereka sebenarnya adalah makhluk yang lemah yang mudah diajak berunding. Mereka mudah percaya dengan orang lain, apalagi orang yang dianggapnya lebih dewasa dan pandai. Membuka hati anak untuk menerima pendapat orang dewasa, sebetulnya adalah seni menumbuhkan kepercayaan.


Ada 7 prinsip yang harus difahami dan kemudian diterapkan oleh pendidik untuk memperoleh kepercayaan anak didik agar mencapai maksud dari pendidikan itu, tanpa harus menggunakan kekerasan.



1. Tindakan alternatif


Cara pendidikan tanpa kekerasan digambarkan sebagai sebuah cara ketiga atau alternatif ketiga, setelah tindakan menyalahkan dan aksi kekerasan karena hal itu. Seorang pendidik yang melihat kesalahan seorang siswa, mempunyai tiga pilihan setelah itu, apakah dia akan menyalahkannya, menggunakan kekerasan untuk memaksa siswa memperbaiki kesalahan itu atau menggunakan cara ketiga yang tanpa kekerasan.


Menahan diri untuk tidak menyalahkan tentu bukan perkara mudah bagi orang dewasa apabila melihat sebuah kesalahan dilakukan oleh anak di depan matanya. Tapi perlu diingat bahwa sebuah tudingan bagaimanapun akan berbuah balasan dari anak, karena secara insting dia akan mempertahankan dirinya. Reaksi atas sikap anak yang membela diri inilah yang ditakutkan akan berbuah kekerasan dari pendidik terhadap anak didik.



2. Keakraban penuh keterbukaan


Dasar pemikirannya adalah persaudaraan kemanusiaan. Bahwa antara pendidik dan anak didik ada sebuah benang merah persaudaraan kemanusiaan yang tidak akan terputus sampai kapan pun, di mana telah terjadi hubungan memberi dan menerima ilmu pengetahuan.


Keakraban maksudnya berbagi dengan orang lain dengan tidak membeda-bedakan anak-anak didik, dan terbuka adalah tidak menutup-nutupi hal apa pun atau mencoba mengambil keuntungan dari hal-hal yang tidak diketahui siswa. Sebuah keakraban yang penuh keterbukaan hanya bisa terjalin apabila adalah rasa persaudaraan kemanusiaan antara pihak pendidik dan siswa.


Di dalam keakraban ada kasih sayang, keramahan, sopan-santun, saling menghargai dan menghormati. Sedang keterbukaan mengandung unsur kejujuran, kerelaan dan menerima apa adanya.

Keakraban yang terbuka ini ibarat pintu bagi masuknya sebuah kepercayaan. Ketika anak didik sudah merasakan keakraban yang terbuka dari gurunya, maka dia dengan senang akan mendengarkan apa pun yang disampaikan oleh sang guru.



3. Komunikasi yang jujur


Anugerah terbesar dari kecerdasan manusia adalah komunikasi yang jelas satu sama lain, tidak hanya berupa tindakan-tindakan langsung, tapi juga secara simbolis dengan bantuan bahasa. Karena bahasa adalah sebuah simbol abstrak yang mengacu pada obyek, hubungan-hubungan, dan konsep-konsep, kata-kata boleh jadi tidak akurat dengan kenyataan, namun kata-kata mencoba untuk menjelaskannya. Dengan kata lain, bahasa bisa salah, atau kita bisa berbohong ketika menggunakannya. Penipuan adalah sesuatu yang sulit dipisahkan dari kekerasan, disebabkan kurangnya rasa hormat kepada orang lain atau takut terhadap kenyataan. Tindakan dengan kasih sayang didasarkan pada ukurannya dalam kebenarannya setiap orang, yang tidak bisa memisahkan dirinya dari kebenaran dan kenyataan.


Jadi, untuk menjadi benar kepada diri sendiri, kita juga harus benar terhadap orang lain. Sampaikan kepada anak didik kebenarannya; arahkan kemarahan kita terhadap kesalahannya, bukan kepada orangnya. Temukan solusi dalam konflik dan kesalahfahaman, dan itu tidak bisa dibangun apabila kita menggunakan kebohongan dan penipun.



4. Hormati Kebebasan dan Persamaan


Pendidikan tanpa kekerasan adalah juga cara kebebasan, karena hanya diri kita sendiri yang mengarahkan bagaimana caranya mewujudkannya. Hal ini sangat bertentangan dengan otoritarianisme militer, di mana setiap individu harus mengikuti perintah-perintah atasan secara mutlak. Di dalam pendidikan tanpa kekerasan ini, kita semuanya bebas dan setara, setiap orang mendengarkan suara nurani sendiri dan saling berbagi perhatian. Lalu kemudian dengan bebas diputuskan, berdasarkan pada semua pertimbangan individu-individu, bagaimana keinginan bersama ingin diwujudkan. Dengan demikian kita harus mengenali dengan jelas kebebasan memilih dan hak yang sama setiap orang untuk mengambil bagian dalam kegiatan itu.


Yang lebih penting lagi adalah kita menyadari persamaan semua manusia dan menghormati kebebasan anak didik sama seperti kita menghendaki kebebasan kita sendiri dihormati. Tindakan tanpa kekerasan bukanlah bentuk usaha untuk mengendalikan yang lain atau penggunaan paksaan terhadap mereka. Jika kita mencintai anak didik, kita menghormati otonomi mereka untuk membuat keputusan-keputusan mereka sendiri. Kita pasti dapat berkomunikasi dengan mereka, dan kita bahkan dapat menghadapi mereka dengan kehadiran kita untuk memaksa mereka tanpa kekerasan untuk membuat sebuah pilihan, jika kita yakin mereka telah melakukan kesalahan. Perbedaan yang penting adalah kita tidak memaksa mereka secara fisik atau dengan kasar untuk mencapai apa yang kita inginkan.


Dalam pendidikan tanpa kekerasan kita tidak menyakiti anak didik, meski pun mungkin mereka merasa tidak nyaman di dalam urusan ini. Di dalam hal ini kita memperlakukan anak didik sebagaimana kita menghormati mereka sebagai individu.



5. Rasa kasih yang berani


Bertentangan dengan kepercayaan umum, pendidikan tanpa kekerasan bukan sebuah metoda pasif dan lemah, dan itu pasti bukan untuk para penakut. Tindakan tanpa kekerasan lebih banyak membutuhkan keberanian dibanding perkelahian dengan kekerasan seperti dalam peperangan, meski tampaknya itu semacam keberanian. Karena jika kita melihat lebih jauh penggunaan senjata merupakan kompensasi dari rasa takut terhadap lawan. Dan tindakan kekerasan merupakan bukti adanya perasaan takut lawan lebih dulu melakukannya terhadap kita. Jadi melakukan tindakan tanpa kekerasan menunjukkan ketinggian martabat yang penuh keberanian.


Rasa kasihan adalah anugerah kepada hati kita. Rasa kasihan bisa digambarkan sebagai kasih yang tidak hanya berempati terhadap orang lain di dalam merasakan apa yang mereka alami, tetapi juga mempunyai keberanian dan kebijaksanaan untuk melakukan sesuatu terhadap hal itu. Di dalam rasa kasihan, kita tidak melampiaskan kemarahan dan rasa benci kepada anak didik yang melakukan kesalahan, namun dengan kemurahan hati dan kepedulian, kita memperbaikinya. Rasa kasihan datang dari rasa kesatuan dengan orang lain, memperluas hati kita sehingga kita bisa merasakan empati atas penderitaan orang lain dan menolong mereka.



6. Saling mempercayai secara penuh


Cara dengan kasih sayang didasarkan pada keyakinan bahwa jika kita bertindak dengan cara yang baik tidak akan pernah merugikan bagi siapapun, dan akan menghasilkan kebaikan juga. Alih-alih mengendalikan anak didik dengan ancaman dan kekuasaan kita, lebih baik menggunakan kecerdasan masing-masing pihak untuk memecahkan masalah dengan komunikasi yang baik dan negosiasi.


Untuk mempercayai anak didik secara penuh kita harus melepaskan kepercayaan itu dari kendali kita sendiri, dan membiarkan situasi memprosesnya. Tentu saja melepaskan kepercayaan tidak berarti kita mempercayai dengan membabi buta. Kita harus tetap memonitor apa yang terjadi dan memantau hasilnya secara terus menerus. Jika anak didik mengkhianati kesepakatan, sampaikan hal itu kepada orang banyak agar yang lain mengetahui hal itu.

Penghargaan hanya diberikan kepada anak didik yang berintegritas, sedangkan yang jahat tidak pantas mendapatkannya. Pada kasus tersebut kita tidak menarik rasa kasih sayang kita untuk mereka, tetapi kita hanya menarik kerjasama kita dari mereka karena tidak bisa memegang kepercayaan.



7. Ketekunan dan kesabaran


Dalam pendidikan tanpa kekerasan, kesabaran adalah kebaikan yang bersifat revolusioner. Kesabaran bukanlah sebuah pembiaran tanpa tindakan apa pun, tetapi peningkatan kualitas dari sebuah pertolongan yang bertahan pada tuntutannya, dan melanjutkannya dengan cara cerdas penuh ketenangan. Ketika kita terperangkap dalam situasi konflik, emosi kita sering sangat aktif dan bergolak. Kita harus hati-hati dengan reaksi tanpa pemikiran atas apa yang sedang kita lakukan dan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin terjadi. Kesabaran memberikan kepada kita waktu untuk berpikir tentang tindakan-tindakan kita agar terhindar dari kekerasan dan bertindak efektif. Lebih baik menunggu dan kehilangan sebuah peluang kecil dibandingkan terburu-buru namun menemui sesuatu yang bodoh dan tidak dipersiapkan. Peluang baru pasti akan muncul kemudian, jika kita berusaha memecahkan persoalan, karena di lain waktu kita akan siap untuk bertindak dengan cara yang baik.


Tidak seperti cara militer yang cepat dan kasar, pendidikan tanpa kekerasan bersifat melambat dan dimulai dengan peringatan-peringatan untuk memberikan kesempatan kepada anak didik secara sadar berpikir bagaimana seharusnya. Kita tidak menghendaki anak didik bereaksi dengan cepat secara insting. Kita menghendaki anak didik mengetahui metoda-metoda kita sehingga mereka dapat menanggapi sama tenang dan cerdasnya.


Ketekunan juga berarti kita harus fleksibel di dalam strategi dan taktik kita. Jika metodanya tidak berhasil, kita perlu mencoba cara lain. Jika jalannya mendapatkan halangan, kita dapat beralih ke hal lain yang juga memerlukan perhatian. Jika anak didik seperti kehilangan minatnya, kita dapat dengan kreatif mencoba pendekatan baru terhadap permasalahan. Jika kita merasa lelah, kita dapat beristirahat sejenak untuk mengisi sumber daya kita secara rohani dan kembali agar energi kita diperbaharui. Kita perlu tetap bertahan bukan hanya dalam usaha kita mengadakan perbaikan, tetapi yang lebih penting lagi kita harus tetap pada kasih sayang kita satu sama lain.


Pendidikan tanpa kekerasan harus dipenuhi kesabaran dan memaafkan dan di saat yang sama gigih dalam membantu. Ketika anak didik mengakui bahwa mereka sudah melakukan kesalahan, kita harus menunjukkan sifat pemaaf kepada mereka. Sasaran terakhir dari pendidikan tanpa kekerasan bukanlah kemenangan atas anak-anak didik kita tetapi menemukan sebuah kehidupan yang harmonis antara pendidik sebagai orang tua, bersama-sama dengan anak didik dalam damai dan keadilan.



Kita semua berharap kisah-kisah suram kekerasan oleh pendidik dan orang tua secara umum tidak terjadi lagi. Pendidikan dengan kekerasan hanya akan melahirkan traumatis-traumatis yang berujung pada pembalasan dendam, dan kita semua pasti tidak menghendaki hal demikian terus berlanjut tanpa berkeputusan, kemudian melahirkan generasi-generasi penuh kekerasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar