Sabtu, Agustus 01, 2009

Seniman, di Antara Eksentrikisme dan Sufisme

Seniman dan sufi adalah dua predikat yang berbeda namun mempunyai banyak kesamaan. Yang pertama berjalan meniti karya, sedangkan yang kedua memanjat maqam demi maqam menuju kesatuan dengan-Nya. Yang satu memuja keindahan dunia, sedangkan yang lain menjauhinya.


Tetapi keduanya sama-sama bermain dalam rasa keindahan. Keduanya hidup dalam kerangka kebebasan dan pembebasan, cinta dan mencintai, hingga tidak peduli dengan dirinya, hanya untuk yang dicintai.


Seniman mengukur keindahan dengan rasa, mewujudkannya dalam karya untuk dinikmati, baik oleh diri sendiri atau pun orang lain. Karya seni, dengan pengertian “mengulang alam”, layaknya dzikir. Seni – pengakuan pelukis Jeihan – adalah cara cerdas membaca fenomena. Waras menurut kita, gila dalam pandangan orang awam.


Keeksentrikan bisa jadi adalah wujud dari kedalaman rasa cinta terhadap objek, sehingga kepedulian terhadap diri sendiri dan lingkungan menjadi terabaikan. Seniman eksentrik dan orang gila kadang memang mirip. Orang gila itu berperilaku sangat bebas, seperti halnya seniman yang tidak dibatasi apa pun dalam berkarya. Sedangkan kebebasan dan kegilaan itu sendiri jaraknya cukup dekat. Bahkan, untuk menjadi “sufi” saja, orang harus menempuh jalan yang bernama “kegilaan”. Gila karena mahabbah atau cinta kepada-Nya. Semisal Yazid al Bistomi, Al Hallaj dan Siti Jenar.


Dunia seni jaraknya sangat dekat dengan dunia sufi. Pengakuan akan keindahan alam akan mengarahkan perasaan kepada pengakuan akan keindahan Sang Pencipta. Seorang seniman yang hatinya mudah tersentuh oleh keindahan dan keagungan-Nya, akhirnya mudah pula terjatuh dan terseret ke dalam pelukan-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar