Selasa, Januari 13, 2009

Ayam atau Telur, Guru atau Murid

Bertemu teman lama memang mengasyikan. Terutama teman lama yang sudah lama tidak bertemu dan orangnya baik. Banyak cerita yang terlewatkan selama belasan tahun menjadi ramai untuk dibicarakan. Satu per satu nama orang-orang lama terungkap untuk dijadikan bahan pembicaraan. Pokoknya asyik.


Tapi itu masih kalah asyik dibandingkan bertemu guru di waktu masa sekolah dulu. Guru di masa saya masih SMP, 22 tahun yang lalu. Beliau yang dulunya galak dan suka menghukum anak-anak muridnya yang bandel dan suka ribut di kelas, sekarang seperti seorang teman lama yang seumur, ramah, akrab dan banyak bercerita. Di dalam pandangannya – mungkin – seseorang yang dulunya sebagai murid sekarang setelah dewasa, ya seperti orang-orang lainnya juga, harus dihormati sebagaimana layaknya orang yang sudah dewasa.


Sebut saja nama beliau Pak Rahmat (nama samaran), seorang guru di SMP-ku dulu. Beliau mengajar mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) ketika saya duduk di kelas 2. Terakhir tercatat sebagai pensiunan kepala sekolah sebuah SMP lain di kotaku. Dia memimpin SMP tersebut setelah berpindah dari SMP tempat dia mengajarku dulu, dan diangkat sebagai kepala sekolah di sana. Di dalam pertemuan itu dia menceritakan mengenai pengalamannya selama menjadi guru dan kepala sekolah.


Pertama-tama beliau berkisah mengenai pertemuannya dengan beberapa mantan muridnya yang sudah menjadi orang besar alias pejabat. Ada yang menjadi gubernur, wakil gubernur dan walikota. Kebetulan ketiga orang pejabat tersebut, yang sekarang masih aktif menduduki jabatan-jabatan itu adalah alumni SMP-ku itu.


Beliau sangat terkesan dengan keramahan-tamahan ketiga bekas muridnya itu. Termasuk juga kebaikan hati mereka mau menyisihkan bantuan untuk sekolah kami. Beliau bilang bahwa dia tanpa sungkan-sungkan “menodong” (istilah ini digunakan untuk menggambarkan bagaimana suasana saat itu) ketiga bekas muridnya itu untuk turut membantu perbaikan sekolah, sarana jalan dan perangkat lainnya di sekolah. Bantuan akhirnya diberikan untuk bekas sekolah dari ketiga mantan murid yang “sudah menjadi prang” itu.


Kemudian beliau juga bercerita bahwa bekas murid-muridnya yang sudah berhasil banyak yang memberinya uang – atau diminta dengan cara halus? – apabila bertemu dengannya. Katanya dia senang dan sangat berterimakasih karena mantan muridnya mengerti dengan keadaannya yang sudah tua dan pensiun.


Singkat cerita, menjelang akhir pertemuan saya dengannya, dia menjelaskan mengenai perbedaan murid yang pintar dan cerdas. Katanya murid pintar itu hanya menguasai ilmu secara tekstual atau text book. Kemampuan menghafalnya boleh diacungi jempol, tetapi apabila dihadapkan dengan permasalahan yang memerlukan suatu solusi, maka akan kehabisan akal dan tidak bisa berbuat apa-apa.


Sedangkan murid yang cerdas adalah murid yang memahami permasalahan dan mampu mencari dan memberikan solusi apabila dihadapkan pada problem di dalam kehidupan. Dan dia sangat mengagumi murid yang cerdas seperti ini.


Pertamanya, sih aku cukup memahami pendapatnya itu. Karena seperti pendapat banyak orang bahwa pemahaman tentang hidup dan kehidupan tidak bisa ditemukan di bangku sekolah dan tidak mungkin ada di dalam buku pelajaran. Semua pengalaman hidup akan diperoleh di dalam perjalanan kehidupan seseorang. Suatu sekolah alam di mana pengalaman adalah gurunya.


Tetapi pembicaraan selanjutnya membikin alis saya berkerut. Beliau menceritakan tentang masa-masa penerimaan siswa baru di sekolahnya. Katanya ada orang tua calon murid yang tidak jadi mendaftarkan anaknya di SMP kami karena nilainya tidak mencukupi standar nilai terendah. Dan orang tua seperti itu, menurut beliau adalah orang tua yang “tidak cerdas”.


Saya balik bertanya, “Kalau yang cerdas itu bagaimana, Pak?”


Beliau jawab, “Seharusnya kalau orang tua itu memang cerdas, dia mendatangi kepala sekolah dan bertanya, ‘adakah solusi lain agar anak saya bisa bersekolah di SMP ini?’.”


“Lalu, Pak?” tanya saya berlagak bodoh karena saya betul-betul sudah mengerti arah pembicaraan ini.


“Kepala sekolah pasti akan menyebutkan sejumlah uang tertentu sebagai pelicin,” jawabnya mantap. “Jadi orang tua yang cerdas tinggal menyediakan uang sejumlah itu dan anaknya bisa menjadi murid di sekolah kita.”


Saya menyela mantap dengan maksud menyindir, “Hal seperti itu memang tidak bisa diperoleh di pelajaran sekolah, Pak. Hanya ada di dalam kehidupan.”


“Ya, betul,” jawab beliau bersemangat.


Hati saya dibuat gelisah oleh obrolan ini. Saya terkenang dengan beberapa orang pejabat, pengusaha dan politikus kita yang terlibat korupsi di negara ini. Beberapa sudah dipenjara dan yang lain masih dalam proses pengadilan. Lalu saya teringat ketiga pejabat yang merupakan alumni SMP saya tersebut dan sering bertemu dengan Pak Rahmat, mantan gurunya ini.


Apakah mereka yang mengajarkan tentang “pengalaman hidup” dan kepandaian “mencari solusi” kepada mantan gurunya atau Pak Rahmat ini yang telah mengajarkan kepada mantan murid-muridnya dulu mengenai perbedaan “murid pintar” dan “murid cerdas” sebagai bekal ilmu sebagai pejabat – walaupun saya merasa belum pernah menerima pelajaran seperti itu.


Kondisi itu jadi mirip dengan permasalahan ayam atau telur, yang mana yang lebih dulu ada? Atau barangkali Pak Rahmat memperoleh banyak pengalaman setelah lama menjadi guru atau kepala sekolah di sekolahnya yang baru. Hanya Tuhan yang Maha Tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar