Sabtu, Januari 24, 2009

Israel, Negara Penjahat Perang



Argumentasi bahwa serangan yang dilakukan rezim Israel atas Gaza dilakukan semata-mata untuk bertahan dari serangan Hamas – yang merusak masa enam bulan gencatan senjata – telah banyak mendapatkan penentangan, tidak hanya oleh para peninjau yang mengetahui seluk-beluk permasalahan seperti Jimmy Carter (mantan presiden AS) yang membantu jalannya gencatan senjata, tetapi juga oleh kelompok riset intilijen pusat hak-hak asasi Israel sendiri.


Pusat Informasi Intelijen dan Terorisme, pada 31 Desember memberikan laporan dengan judul "Laporan Intelijen atas Enam Bulan Kesepakatan Diam-diam" yang menetapkan bahwa gencatan senjata 19 Juni hanya "dilanggar secara sporadis, dan bukan oleh Hamas tapi oleh organisasi-organisasi teroris penjahat".


Sebagai balasannya, Israel membunuh enam anggota Hamas pada 4 Nopember tanpa provokasi dan lalu menempatkan seluruh pasukan yang melakukan lebih dari satu pengepungan yang intensive di hari berikutnya.


Sesuai dengan hasil riset dari kerjasama Universitas Tel Aviv dan Universitas Eropa, hal ini sebagai contoh kekerasan Israel yang bertanggung jawab atas berakhirnya 79 persen keseluruhan masa tenang sejak berlangsungnya intifada yang kedua. Bandingkan dengan hanya 8 persen yang disebabkan peran Hamas dan fraksi-fraksi Palestina lainnya. Departemen Luar Negeri Israel tampaknya menyadari bahwa argumentasi ini telah menurunkan kredibilitas pemerintahannya.


Selama konferensi yang mempertemukan setengah lusin para profesor yang pro-Israel pada Hari Kamis, Asaf Shariv, Konsulat Jenderal Israel di New York, lebih memfokuskan akan pentingnya penghancuran sistem terowongan yang kompleks yang menghubungkan Gaza dengan Sinai.


Ia mengklaim bahwa terowongan-terowongan itu adalah “sebesar terowongan-terowongan Holland dan Lincoln," dan menunjukkan bukti berupa "fakta" bahwa singa-singa dan monyet-monyet telah diselundupkan melalui terowongan-terowongan itu ke sebuah kebun binatang di Gaza. Padahal dalam kenyataannya, yang dimaksud singa-singa itu hanyalah dua ekor anak singa yang sedang dalam pengobatan, dimasukkan ke dalam kantung, dan dibawa melalui sebuah terowongan menuju ke kebun binatang pribadi.


Citra diri Israel di mata dunia


Dengan setiap keluarga yang terkubur di bawah puing bangunan di Gaza, klaim bahwa pasukan Israeli sudah menghentikan tindakannya untuk mengurangi korban-korban sipil – gambaran yang diperluas oleh pusat perdamaian Israel sebagai suatu demokrasi moral dan pencerahan – adalah suatu ungkapan yang menyakitkan perasaan.


Siapapun dengan koneksi internet dapat menemukan di Google: Gaza humanitarian catastrophe (bencana kemanusiaan di Gaza), atau UN’s Office for the Coordination of Humanitarian Affairs in the Occupied Territories (Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan di wilayah pendudukan), membaca ribuan halaman dari bukti dokumentasi berupa kenyataan pertempuran yang sedang berlangsung, atau pengepungan jangka panjang atas Gaza yang sudah berlangsung lama.


Palang Merah dengan kritis mengungkapkan keengganannya untuk menempatkan sukarelawan ke daerah konflik, dan dengan tajam mengkritisi Israel yang mencegah personil medis untuk membantu rakyat Palestinina yang terluka, sampai terjebak selama berhari-hari, pelan-pelan kelaparan dan sekarat di dalam puing-puing di Gaza, di tengah-tengah keluarga mereka yang mati.


Sementara itu, PBB telah menolak pengakuan Israel bahwa pejuang-pejuang Palestina menggunakan sekolah UNRWA sebagai tempat berlindung – yang kemudian dibomnya pada 6 Januari lalu dan telah menewaskan 40 warga sipil – dan menantang Israel untuk membuktikan dengan cara lain.


Jalan menuju tuntutan kejahatan perang


Di dalam peninjauan ulang statemen-statemen dari perencana militer Israeli sebelum invasi dilakukan, sudah jelas bahwa pihak Israel sudah memperhitungkan dengan cermat penyerangan-penyerangan atas infrastruktur sipil di Gaza beserta warga sipilnya.


Kutipan berikut adalah hasil wawancara dengan Major-General Gadi Eisenkot yang ditampilkan dalam harian Israel Yedioth Ahronoth pada Bulan Oktober, yang mengatakan:


"Kita akan menggunakan kekuatan yang lebih dahsyat melawan setiap desa yang menembaki Israel untuk menyebabkan kerusakan dan kehancuran tak terukur. Dari sudut pandang kami desa-desa mereka adalah basis militer," katanya.


"Ini bukan saran. Ini adalah sebuah rencana yang telah diotorisasi."


Menyebabkan "kerusakan dan kehancuran tak terukur" dan menganggap seluruh desa sebagai "basis militer" adalah mutlak dilarang di dalam hukum internasional.


Uraian Eisenkot atas rencana yang jelas diungkapkan di Gaza adalah jalan yang jelas akan adanya konspirasi yang bertujuan untuk melakukan kejahatan-kejahatan perang, dan yang terkesan dari komentar-komentar di atas, dan banyak yang lain, maka argumentasi dari pihak Israel bahwa mereka sudah mencoba untuk melindungi warga sipil dan tidak menggunakan kekuatan luar biasa yang tidak sebanding, ternyata tidak benar.


Pelanggaran Hukum internasional


Pada dasarnya, sejumlah data dan fakta membuktikan bahwa Israel telah secara sistematis melanggar sejumlah hukum internasional, termasuk di antaranya Artikel 56 dari Konvensi Hague ke-4 tahun 1907, Protokol Tambahan Pertama dari Konvensi Genewa, Konvensi Genewa Ke-4 (Secara spesifik dikenal dengan "Konvensi Genewa yang berhubungan dengan Perlindungan Orang-orang Sipil di Masa Perang pada 12 Agustus 1949), Konvensi Internasional atas Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan prinsip-prinsip Hukum Kemanusiaan International Umumnya.


Tidak satu pun dari hukum-hukum ini memaafkan atau melegitimasi tembakan roket-roket atau mortir terhadap warga sipil dan target bukan militer oleh tentara Israel terhadap warga dan infrastruktur di Gaza.


Richard Falk, reporter khusus untuk PBB, mengatakan di dalam pernyataan terbarunya tentang Gaza: "Haruslah ditunjukkan secara jelas bahwa tidak benar secara hukum dan moral melakukan penembak roket pada target-target sipil, dan perilaku seperti itu adalah suatu pelanggaran IHR, yang berhubungan dengan hak untuk hidup, dan dapat digolongkan sebagai suatu kejahatan perang."


Tim Amnesti Internasional yang diutus secara khusus ke Jalur Gaza sejak Sabtu (18/1) untuk menyelidiki lebih jauh permasalahan kemanusiaan dan pelanggaran yang dilakukan Israel saat menginvasi Gaza sepanjang hampir dua puluh empat hari itu mulai menghasilkan.



Situs berita Aljazeera (20/1) mengabarkan jika tim yang beranggotakan empat orang itu berhasil menghimpun data-data yang menegaskan jika Israel telah melanggar undang-undang internasional, kemanusiaan, serta berbagai kesepakatan perdamaian internasional.





Selama invasi Gaza, Israel terbukti menggunakan senjata yang dilarang penggunaannya, salah satunya adalah bom posphor putih jenis terbaru yang mematikan dan mampu melelehkan kulit tulang manusia.




Selain itu, Israel juga terbukti banyak membunuh rakyat sipil secara brutal, yang kebanyakan di antara mereka adalah anak-anak, wanita, dan para lanjut usia, disamping menghancurkan gedung-gedung sipil semisal sekolah, rumah sakit, kantor-kantor administrasi dan lain-lain.




Christopher C Smith, ahli senjata yang juga salah satu anggota tim amnesti menjelaskan bahwa pada penyelidikannya di jalan-jalan Gaza yang hancur akibat serangan Israel ditemukan beberapa bukti-bukti nyata jika Israel menggunakan senjata yang dilarang penggunaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar