Kamis, Desember 18, 2008

Perguruan Tinggi, Agen Perubahan yang Harus Siap Berubah


Rancangan UU Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) akhirnya disahkan menjadi UU pada Sidang Paripurna DPR, Rabu (17/12). Dalam pandangan akhir, sepuluh fraksi di DPR menyatakan persetujuannya atas RUU tersebut.


Sementara itu, banyak mahasiswa yang menentang disahkannya UU ini, disebabkan kekuatiran mereka akan terjadinya komersialisasi pendidikan yang hanya mengejar keuntungan materi semata.


Adapun pasal-pasal di dalam UU BHP yang dianggap kontroversi karena dikuatirkan menjadi pendorong liberalisasi dan kapitalisasi di dunia pendidikan adalah :


- Pasal 12, yang mengisyaratkan lembaga pendidikan asing masuk ke Indonesia.

- Pasal 41 Ayat 7 yang berbunyi: Peserta didik yang ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan harus menanggung biaya tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik, orangtua atau pihak yang bertanggung jawab membiayainya.

- Pasal 47 Ayat 8 berbunyi: Biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud Ayat 7 yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan menengah berstandar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan pada Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP) atau Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPPD) paling banyak sepertiga dari biaya operasional.

- Pasal 49, yang berisi mengenai adanya sanksi pembubaran lembaga BHP oleh pemerintah, karena lembaga pendidikan tidak bisa mengelola lembaga pendidikan tersebut



Merubah paradigma secara proaktif


Menurut saya kekuatiran sebagian mahasiswa – dan juga orang-orang di belakang mahasiswa, rektor dan pengurus perguruan tinggi – terhadap disahkannya RUU Badan Hukum Pendidikan yang akan menjadi pendorong komersialisasi pendidikan sehingga hanya mengejar keuntungan materi adalah ketakutan yang berlebihan disebabkan kelemahan semangat juang masyarakat perguruan tinggi sendiri.


Ada pertanyaan menggelitik yang saya ajukan kepada para mahasiswa dan juga para pengurus perguruan tinggi yang berada di belakangnya, “Kenapa agen perubahan seperti mahasiswa dan perguruan tinggi yang terkenal sebagai penganjur dan pelopor perubahan, justru takut dengan perubahan?” Apakah merasa belum siap menghadapi pertarungan di era globalisasi?


Mulai dari sekarang perguruan tinggi dan semua unsur di dalamnya harus belajar merubah paradigma tentang perguruan tinggi yang selama ini hanya dianggap sebagai tempat mencari ilmu – dan berarti menghabiskan biaya – menjadi tempat berkarya dan bekerja, sebagai tempat pengejawantahan ilmu, sehingga menghasilkan uang dengan bertindak secara pro aktif.


Sebagai bahan perbandingan cobalah menengok SMK-SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) yang berhasil menumbuhkembangkan semangat berusaha dan berbisnis. SMK-SMK tersebut sudah memiliki berbagai usaha yang bisa menghasilkan uang sehingga ikut membantu biaya pendidikan di sekolah tersebut. Bahkan para siswa lulusannya bisa menciptakan usaha yang sama atau mengembangkan bisnis yang ada di sekolah dengan menjadi agen di luar sekolah.


Kalau tidak dari sekarang, kapan lagi? Mumpung masih kuliah, kapan lagi belajar kerja. Bukankah setelah lulus jadi sarjana juga pusing mencari pekerjaan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar