Senin, September 01, 2008

Bapak Soeharto, Pahlawan atau Bukan ?

Pernah dimuat di Wikimu pada Kanal Opini, Senin 05-05-2008 17:06:19


Menurut catatan yang ada, sejak tahun 1959 mulai diterapkannya, Pahlawan Nasional sekarang ini sudah berjumlah 139 orang. Suatu jumlah yang cukup banyak dan berat untuk dihapalkan anak Sekolah Dasar, tingkatan sekolah yang anak-anak didiknya masih sering disuruh menghafalkan nama-nama pahlawan, nama-nama sungai, nama-nama ibu kota propinsi dan lain sebagainya.

Bagaimanakah seseorang dapat diberi gelar Pahlawan Nasional ?

Kata pahlawan berasal dari dua gabungan kata yaitu "pahala" dan "wan". "Pahala" artinya balasan atas amal kebaikan dan "wan" adalah akhiran yang bermakna laki-laki atau orang. Jadi pahlawan bermakna orang yang mendapatkan balasan atas amal kebaikannya. Kata pahlawan bisa juga disepadankan dengan kata "hero" dari bahasa Inggris yang bermakna pejuang, patriot, kesatria yang menjadi pembela yang lemah atau pembela kebenaran.

Syarat-syarat seorang bisa diberi gelar Pahlawan Nasional antara lain, pertama seseorang tersebut haruslah seorang yang sudah meninggal dunia. Kedua ada pengusulan dari masing-masing pemerintah daerah asal si calon pahlawan berasal atau diakui perjuangannya. Setelah itu baru pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional akan mengusulkan kepada presiden untuk memutuskan dan menetapkan seseorang diberi gelar Pahlawan Nasional, tentu saja atas dasar penyelidikan dan pertimbangan yang mendalam. Kira-kira demikianlah prosedurnya. Namun sebagai catatan, di masa Orde Baru dulu, untuk pertama kalinya ada pemberian gelar pahlawan kepada orang yang masih hidup yaitu kepada Presiden Soeharto (tidak diketahui apakah gelar tersebut berasal dari orang lain ataukah dari dirinya sendiri), dengan gelar Bapak Pembangunan Nasional, atau ada juga yang menyebut Bapak Pahlawan Pembangunan.

Pahlawan adalah seorang manusia biasa juga

Para Pahlawan Nasional kita adalah tokoh-tokoh perjuangan di masa dan bidangnya masing-masing. Ada pahlawan kemerdekaan yang berjasa karena perjuangannya merebut kemerdekaan. Ada juga pahlawan perintis kemerdekaan, ada pahlawan revolusi, ada pahlawan perjuangan kaum wanita, dan lain sebagainya. Tiap-tiap pahlawan tersebut dikenang karena jasa-jasanya yang tercatat oleh tinta emas sejarah. Siapakah yang mencatat jasa-jasa mereka tersebut ? Bisa jadi anak keturunannya, bisa juga teman seperjuangannya, bisa jadi pemerintah daerah tempat pahlawan itu dilahirkan dan dibesarkan atau tempat si pahlawan berjuang. Karena si pahlawan sudah meninggal dunia, sudah sewajarnya yang dikenang hanya kebaikannya dan jasa-jasanya saja. Begitulah kira-kira adat ketimuran apabila mengenang orang yang sudah meninggal dunia - pamali atau kualat untuk mengingat kesalahan-kesalahannya atau dosa-dosanya.

Akan tetapi sebagai manusia biasa sudah pasti pahlawan tersebut tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan pada masa hidupnya. Tidak ada manusia yang betul-betul suci dari kesalahan dan dosa. Apabila kita menemui tidak ada cerita yang buruk tentang kehidupan pahlawan-pahlawan kita, hal itu karena kita memang tidak pernah mendengarnya. Kita memang tidak hidup sejaman dengan mereka dan catatan yang ada pun tidak memberika informasi yang lengkap mengenai kehidupan masa lalu mereka. Atau memang catatan tersebut tidak memuat tentang hal-hal buruk dari sejarah seorang pahlawan. Maka jadilah pahlawan-pahlawan tersebut "orang suci" di mata kita, di mata anak-anak sekolah yang sering menghafalkan nama-nama mereka.

Flashback kepemimpinan Soeharto (Orde Baru)

Sebagian dari kita mungkin sudah pernah hidup sejaman dengan kepemimpinan Bapak Soeharto, Presiden RI ke-2 tersebut. Pada saat beliau masih menjabat sebagai presiden - kira-kira periode di bawah tahun 1990 - mungkin di antara kita sudah ada yang berumur 30 tahun atau lebih, atau mungkin masih SD, SMP, SMA atau mungkin masih kuliah. Saya yakin banyak di antara kita pada masa itu tidak begitu peduli dengan masalah politik (karena memang keran dunia politik tidak dibuka secara bebas), masing-masing kita asyik dengan kesibukan kita di bidang pendidikan, ekonomi, sosial budaya, keagamaan dan lain-lain. Apakah yang dirasakan saat itu ? Ketenangan ? Keamanan ? Perasaan aman tersebut dikarenakan peran pemerintah yang sangat besar dalam mengendalikan gejolak politik. Pada masa itu gejolak politik yang timbul akan segera ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan tindakan represif dari pihak keamanan dan kemudian diredam supaya tidak bergejolak di permukaan. Bahkan secara antisipatif pemerintah pada masa itu menanamkan doktrin-doktrin idiologis agar rakyat menjadi satu dalam pandangan dan tindakan, dan tidak terpecah belah, yang berarti akan membahayakan kelangsungan pembangunan dan kekuasaan.

Salahkah hal tersebut ? Tergantung dari sudut pandang mana kita mengukurnya. Apabila kita termasuk orang yang berseberangan secara politik dengan pemerintah, sudah jelas tindakan mengekang kebebasan berpolitik adalah suatu kejahatan kemanusiaan. Kebebasan berpendapat, kebebasan menyatakan buah pikiran, dan kebebasan berkelompok dan lain sebagainya adalah hak hakiki yang mesti mendapatkan tempat di dalam hidup bernegara. Tetapi bagi pihak yang faham politiknya sehaluan dengan pemerintah, situasi politik yang dikendalikan berarti keamanan bagi kelangsungan pembangunan.

Pembangunan lima tahunan (PELITA) adalah suatu pola pembangunan berkelanjutan yang merupakan program utama di masa Orde Baru. Sebagai landasan hukum pelaksanaan PELITA dibuatlah ketetapan MPR yang memuat Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) yang berlangsung terus-menerus dan berkelanjutan dengan penetapan prioritas-prioritas pembangunan, seperti bidang pertanian, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya. Dari PELITA ke-1 sampai PELITA ke-5 pelaksanaan pembangunan tampak mulai menunjukkan hasil nyata, yaitu kemajuan di bidang ekonomi, baik secara makro maupun mikro. Di mata dunia bangsa kita sempat menjadi panutan dan contoh. Beberapa kali kita menerima penghargaan di tingkat dunia untuk pembangunan, baik penghargaan atas keberhasilan program Keluarga Berencana, kemajuan di bidang pertanian, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Bahkan Negara tetangga kita seperti Malaysia, Thailand dan Brunai sampai mengirim mahasiswanya dan para pakarnya untuk belajar dari kita tentang hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan.

Namun ternyata di akhir masa kekuasaannya, pemerintahan Orde Baru menghadapi kondisi perekonomian dunia yang mengalami krisis, yang berdampak langsung terhadap perekonomian nasional. Nilai Rupiah turun sangat drastis terhadap Dollar Amerika Serikat. Seluruh perhitungan moneter dan fiscal harus direvisi ulang, dan ini sangat memberatkan keuangan Negara. Sendi-sendi ekonomi rakyat yang sebagian besar dipegang oleh para konglomerat, membuat jatuhnya perekonomian nasional ke jurang yang lebih dalam.

Konglomerat-konglomerat tersebut bertumbangan dan banyak yang melarikan diri ke luar negeri, perbankan yang merupakan sponsor utama mereka jadi ikut-ikutan bangkrut. Bangsa ini seperti penumpang perahu layar di tengah samudera berombak besar dengan jatah makanan mulai menipis, sedangkan sebagian besar pelaut handalnya tewas digulung ombak. Ada isu mengatakan bahwa krisis moneter dunia pada akhir masa Orde Baru adalah ulah beberapa spekulan di pasar uang dunia yang memang berniat mengguncang ekonomi di Asia dengan maksud untuk menjadikan bangsa-bangsa di Asia tetap bergantung kepada Barat secara ekonomi. Mereka takut atas kemunculan "macan-macan Asia" seperti Jepang, Korea, dan terakhir Cina dan Taiwan akan memindah poros ketergantungan ekonomi sebagian negara dunia ketiga dari Barat (Amerika Serikat dan Eropa) ke Asia.

Pantaskah seorang Soeharto diangkat sebagai Pahlawan Nasional ?

Bila kita lemparkan pertanyaan tersebut kepada masyarakat awam atau rakyat kebanyakan, maka kita akan mendapatkan jawaban "ya". Karena sebagian besar mereka tidak begitu memahami masalah politik. Mereka hanya melihat hal-hal riil yang menyentuh peri kehidupan mereka sehari-hari. Komentar sebagian besar dari mereka adalah kondisi di masa reformasi ini lebih buruk dari masa kepemimpinan Bapak Soeharto (Orde Baru) dulu. Dulu kami tidak kesulitan sandang dan pangan, kata mereka, tetapi sekarang semua serba mahal dan sulit dicari, sedangkan penghasilan kami menurun dan pilihan pekerjaan hampir tidak ada.

Tapi bagi sebagian besar politikus yang sekarang sedang duduk di jabatan masing-masing, di mana dulunya tidak pernah menerima kesempatan itu, tentu Orde Reformasi adalah masa keemasan bagi mereka. Kalau di masa lalu mereka yang berseberangan politik dengan pemerintah akan diberangus dan dipenjara, di masa reformasi sekarang setiap orang akan mendapatkan kesempatan yang sama untuk berperan dalam bidang politik.

Sekarang, mari kita kembali ke permasalahan di awal tulisan ini. Pantaskah Soeharto, Presiden Ke-2 Republik Indonesia diberikan gelar pahlawan? Marilah kita sekarang berpikir objektif, proporsional dan berprasangka baik. Objektif akan model kepemimpinannya, langkah strategi pembangunannya dan hasil nyata dari pembangunan tersebut. Juga objektif atas strategi kekuasaan politiknya dan sepak terjangnya selama menjadi pemimpin. Dan secara proporsional menimbang dan menilai, baik niat baik yang tergambar dalam strategi pembangunannya maupun motivasi pada arah gerak politiknya. Namun jangan lupa untuk kembali kepada prasangka baik, bahwa kebaikan seseorang haruslah lebih dinilai dari pada keburukannya. Janganlah kita menjadi orang yang mudah melupakan jasa-jasa orang lain dan menjadi angkuh untuk memberi maaf, seperti peribahasa "Panas setahun dihapuskan oleh hujan sehari".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar