Pernah dimuat di Wikimu pada Kanal Opini, Minggu 04-05-2008 09:24:34
Ini kan cuma chick to chick, bukan lip to lip, begitu komentar Tukul Arwana berkilah ketika penonton menyorakinya setelah melakukan cipika-cipiki (istilah Tukul Arwana untuk cium pipi kanan dan kiri) dengan bintang tamunya di acara Empat Mata, salah satu acara andalan sebuah stasiun televise swasta.
Komentar tukul Arwana bisa jadi terkesan wajar, karena kita juga sering menyaksikan adegan cium pipi kanan dan kiri apabila para pejabat saling bertemu, bahkan mereka saling berpelukan sebagai tanda persahabatan. Eit, nanti dulu. Adegan para pejabat tersebut hanya terjadi antar dua orang yang berjenis kelamin sama, laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan. Bukan antar dua orang yang berbeda jenis kelamin seperti yang dilakukan Tukul Arwana. Bila Tukul melakukannya sekitar dua dekade lalu, mungkin Tukul bisa disumpahserapahi para penggemarnya. Barangkali kita ingat bahwa Tukul juga sempat menerima protes dari pemirsanya gara-gara dengan enteng cipika-cipiki, bahkan ada sebagian adegan ditambah dengan pelukan terhadap bintang tamunya yang wanita.
Nah, nantinya adegan ciuman bibir (lip to lip) kemungkinan besar akan mudah dijumpai di setiap tayangan sinetron televisi atau di dalam adegan film layar lebar Indonesia. Hal ini akan dimungkinkan setelah berhasilnya Masyarakat Film Indonesia (wadah persatuan insan perfilman) mendapatkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang uji materi UU No.8 Tahun 1992 tentang Perfilman di gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Rabu tanggal 30 April kemarin. MK menyatakan UU Perfilman yang berlaku saat ini termasuk ketentuan yang mengatur sensor dan lembaga sensor film sudah tidak sesuai dengan semangat zamannya sehingga sangat mendesak untuk dibentuk Undang-undang Perfilman yang baru yang lebih sesuai dengan semangat demokratisasi dan penghormatan terhadap HAM.
Kita mungkin akan bertanya-tanya semangat demokratisasi yang mana yang dimaksud oleh MK, dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang bagaimana yang diinginkan oleh MK. Kalau memang ingin sesuai dengan semangat demokratisasi, bikin saja uji publik dan sosialisasi. Mintalah pendapat publik secara nasional, apa perlu UU Perfilman tersebut diubah. Apa perlu lembaga sensor dihapus. Bukannya mengakomodir pendapat insan perfilman yang hanya merupakan segelintir orang dari ratusan juta rakyat Indonesia. Sudah jelas terlihat di sini ada kepentingan sepihak dari insan perfilman akan revisi dari UU ini. Tentu saja kepentingan materi. Kepentingan jual film yang mereka bikin.
Kalau memang ada unsur penghormatan terhadap HAM dalam keputusannya, MK harusnya mempertimbangkan HAM dari ratusan juta juta rakyat Indonesia yang lain, yang juga punya hak untuk menjaga moral anak-anak mereka. Saya jadi bertanya-tanya, apakah hakim-hakim agung di MK tersebut tidak mempunyai kemampuan analisa jangka panjang akan kemungkinan dampak dari keputusannya ini ? Apakah mereka di MK tidak mempunyai kepedulian sedikitpun akan perkembangan moral dan akhlak bangsa, satu atau dua dekade kemudian setelah UU tersebut direvisi dan memberi peluang untuk munculnya adegan-adegan yang tak pantas di sinetron dan film Indonesia ?
Nah, siap-siaplah generasi muda kita menerima akibatnya. Dan siap-siaplah kita melihat adegan ciuman di layar kaca dan layar putih kita sebagai tontonan sehari-hari. Siap-siap jugalah kita menyaksikan anak remaja dan pemuda pemudi kita beradegan cium di tengah umum, seperti yang sekarang sudah terjadi di Amerika sana. Contoh yang buruk dari akhlak yang buruk itu cepat menularnya, bahkan akan bersifat seperti gelindingan bola salju. Kecil pada awalnya dan akan membesar dengan sendirinya secara dahsyat kemudian. Jadilah karena nila setitik, rusak susu sebelanga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar