Kata orang hidup kita ini secara umum terdiri dari tiga fase atau tahapan kehidupan, yakni lahir, menikah dan meninggal dunia. Oleh sebab itulah orang-orang tua kita dulu sangat menganggap sakral sebuah pernikahan. Buktinya di dalam budaya banyak bangsa di dunia ini, seperti juga di dalam adat etnik-etnik di negeri kita upacara pernikahan dilakukan dengan tahapan-tahapan yang begitu rumit dan melibatkan banyak orang. Pernikahan bukan hanya penyatuan dua orang anak manusia yang berlainan jenis, tetapi juga merupakan penyatuan dua buah keluarga. Bahkan pernikahan di dalam aturan banyak agama merupakan penyatuan dua orang insan di hadapan Tuhan, dengan atas nama Tuhan.
Kemajuan jaman dan perubahan perilaku manusia kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran pragmatis terhadap hal-hal yang sebetulnya ideal dan sakral. Dilatarbelakangi faham serba kebendaan yang dianut banyak orang dewasa ini, maka pertimbangan-pertimbangan adat-istiadat, budaya, bahkan agama bisa dikalahkan oleh pertimbangan ekonomi dan uang.
Pernikahan sama dengan persekutuan dagang ?
Apabila dua orang anak manusia, laki-laki dan perempuan saling jatuh cinta dan kemudian sepakat untuk mengikat hubungan mereka dalam suatu ikatan pernikahan, apakah kira-kira mungkin ada pertimbangan untung rugi sebelumnya? Bukankah saat mereka saling menyatakan cinta, perasaan itu begitu luhur dan tidak dicemari oleh faktor-faktor lain selain perasaan suci yang mendalam yang bernama cinta? Seringkali kita menyaksikan bahwa perasaan cinta bisa mengalahkan segala bentuk penentangan, baik dari pihak ketiga yang tidak menyetujui hubungan mereka maupun segala kekurangan material yang mungkin mengganjal suatu hubungan kasih.
Tapi bagaimana kemudian apabila ada sebagian orang yang berpandangan berbeda? Apabila kemudian ketika muncul rencana untuk menyatukan diri dalam suatu lembaga sakral yang bernama pernikahan mereka berprinsip bahwa harta benda yang sudah dimiliki harus diselamatkan terlebih dulu sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Harta itu, kan saya cari dengan susah payah sebelum kenal dengan dia, masak setelah menikah dan kemudian bercerai dia dengan seenaknya mengakui harta tersebut sebagai harta gono-gini dan minta bagian. Enak aja. Demikian kira-kira ungkapan sebagian orang yang berprinsip jaga-jaga.
Saya jadi ingat dengan pasal-pasal di akta perusahaan yang bunyinya sebagian berisi tentang jumlah penyertaan modal atau saham serta pembagian saham dan harta perusahaan apabila ada pemegang saham yang ingin menarik sebagian sahamnya atau ingin berhenti dan menarik keseluruhan sahamnya. Dan juga apabila perusahaan dinyatakan bubar atau dibubarkan oleh pihak-pihak yang berjanji, maka disitu diatur bagaimana tata cara pembagian saham dan harta perusahaan serta perhitungannya.
Apakah sebuah pernikahan itu sama dengan sebuah persekutuan dagang? Apakah pernikahan harus seperti itu?
Memang perceraian adalah suatu kemungkinan yang bisa terjadi di dalam kehidupan dua orang yang sudah mengikat diri dalam sebuah pernikahan. Tapi apakah persiapan dalam menghadapi sebuah kemungkinan sebuah perceraian menjadi begitu mendesaknya sehingga sampai perlu membuat sebuah perjanjian pra nikah ? Kayaknya terjadinya sebuah perceraian menjadi sebuah kejadian yang sudah direncanakan.
Saya yang kolot dan berpikiran kuno ini memang masih tidak mengerti kenapa ada trend baru di tengah masyarakat kita dewasa ini - khususnya di kalangan artis dan selebritis - untuk membuat sebuah perjanjian pra nikah sebelum mereka menyakatan diri sebagai sepasang suami istri. Apakah tidak ada sebuah perasaan suci lagi di dalam hati mereka bahwa mereka ingin menjalin hubungan suci tersebut untuk seumur hidup sampai maut memisahkan ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar