Pernah tayang di Wikimu pada Kanal Opini, Minggu 01-06-2008 08:25:02
Enam puluh tiga tahun sudah umur Dasar Negara kita Pancasila, tepat 1 Juni 1945 ketika Bapak Proklamator kita menyampaikannya sebagai suatu gagasan tentang dasar negara untuk persiapan Indonesia merdeka. Pidato tanpa teks yang disampaikan di depan sidang anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, BPUPKI), sebuah badan bentukan Jepang yang berusaha menarik dukungan rakyat Indonesia menjelang kekalahannya di akhir Perang Pasifik (Perang Dunia II).
Selanjutnya BPUPKI membentuk Panitia Kecil untuk merumuskan dan menyusun Undang-Undang Dasar dengan berpedoman pada pidato Bung Karno itu. Dibentuklah Panitia Sembilan (terdiri dari Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Mr. A. A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, H. A. Salim, Achmad Soebardjo dan Muhammad Yamin) yang bertugas untuk merumuskan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara berdasar pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, dan menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. (Sumber : Sejarah Indonesia)
Racun Liberalisme dan Kapitalisme di moncong bedil demokrasi
Sejak lama penjajah dari bangsa Eropah sangat meminati alam Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam ini. Setelah kemerdekaan diraih dan kita berhasil melepaskan diri dari belengu kolonialisme dan imperialisme bangsa barat tersebut, ternyata kemudian kita hanya beralih dari suatu bentuk penjajahan yang lama ke bentuk penjajahan yang lain - ibarat lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya - yaitu imperialisme gaya baru. Pelakunya tidak lain adalah bangsa Barat juga, yaitu Amerika Serikat dan negara-negara sekutu ekonominya yang menganut liberalisme dan kapitalisme dalam bidang ekonomi dengan menggunakan demokrasi di bidang politik sebagai senjatanya.
Kalau di masa lampau kaum imperialis harus mendatangi dan menguasai tanah dan bangsa Indonesia secara langsung, di masa imperialisme gaya baru, mereka cukup menggunakan kaki tangannya, yaitu elit-elit politik, pakar-pakar politik dan ekonomi dari bangsa Indonesia sendiri. Orang-orang pintar dan pilihan tersebut dengan bersemangatnya mengusung prinsip-prinsip liberalisme dan kapitalisme, baik di bidang politik, ekonomi maupun sosial budaya. Dengan menggunakan demokrasi sebagai senjata, rakyat dijanjikan kekuasaan semu yang absurd, demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat. Maka perselingkuhan terhadap Pancasila dan UUD 1945 pun dimulai.
Bentuk-bentuk perselingkuhan
Pengkhianatan terhadap sila-sila Pancasila dan pasal-pasal di dalam batang tubuh UUD 1945 terus berlangsung dari waktu ke waktu. Mulai dari pengedepanan suara terbanyak dari pada musyawarah untuk mufakat di dalam sistem politik, sampai penjualan aset-aset negara kepada swasta dan pihak asing. Pada tahap awal memang baru sila kelima dan keempat yang dikebiri, namun nantinya tidak terlepas kemungkinan sila ketiga, kedua dan pertama akan dinodai (mungkin sudah terjadi). Begitu juga dengan pasal-pasal UUD 1945, satu persatu mulai diabaikan dan dilucuti. Hanya pasal-pasal yang bersesuaian dengan semangat liberalisme dan kapitalisme saja yang diusung dan dipopulerkan, seperti semangat kebebasan berpendapat dan berorganisasi. Ini pun sepertinya hanya merupakan jalan tengah untuk menyenangkan masa pendukung demokrasi agar bisa diam dengan mainan baru yang bernama kebebasan. Selebihnya adalah penipuan besar dengan mengatasnamakan liberalisasi ekonomi yang pada hakikatnya adalah penguasaan sektor-sektor ekonomi kerakyatan ke dalam rangkulan kapital-kapital bermodal besar. Sangat jelas di sini pasal 33 UUD 1945 sudah dikebiri dan menjadi mandul.
Siapakah yang bertanggung jawab ?
Kekuasaan silih berganti dari masa ke masa. Pemerintahan yang satu bertukar ke pemerintahan yang berikutnya. Tapi apa lacur, tak ada seorang pemimpin pun yang menyadari kondisi ini, tak ada seorang penguasa pun yang mencoba mengangkat kaki bangsa Indonesia dari lumpur hitam ini. Pada akhirnya lumpur ini semakin menenggelamkan kita dalam sebuah skenario kematian, setiap gerak kaki dan tubuh kita tidak mengarah kepada keselamatan melainkan mendukung untuk terus tenggelam. Dapatkan bangsa Indonesia melepaskan diri dari cengkeraman Liberalisme dan Kapitalisme ? Marilah kita menunggu keajaiban dari Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar