Jumat, September 05, 2008

(Intermeso) Pengangguran di Indonesia dan di Amerika, Apa Perbedaannya ?

Pernah tayang di Wikimu pada Kanal Gaya Hidup, Senin 18-08-2008 10:30:46

Hari Sabtu biasa kugunakan sebagai hari bebas sendiri. Setiap hari Sabtu saya absen ngantor – karyawan tetap masuk kerja, tapi boss-nya bolos – khusus mengerjakan apa pun yang perlu dikerjakan, bisa menulis (untuk Wikimu misalnya) atau beres-beres kamar yang berantakan oleh buku-buku yang keluar dari raknya dan bergelatakan di lantai, atau jalan-jalan.

Sabtu ini kebetulan aku ingin nyambangin seorang teman. Dia bekerja sebagai teknisi di sebuah kantor perwakilan perusahaan elektronik di daerah kami. Setiba di kantornya, aku masuk ke ruang kerjanya setelah mengentuk pintu dan mendengar suara mempersilakan masuk.

“Hei, boss! Lagi nganggur, ya?” Sapa temanku setelah melihat aku yang datang. Begitu biasanya sapaan kita di Indonesia apabila melihat orang lain sedang tidak bekerja. Bukan berarti yang ditanya seorang pengangguran yang tidak mempunyai pekerjaan. Tapi kebetulan sedang istirahat bekerja seperti saya di hari Sabtu itu.

“Ya, neh. Hari Sabtu, kan hari libur khusus buatku. Melemaskan otot dan pikiran, biar jangan cepat tua.”

“Enak, dong jadi Boss. Bisa bolos kerja suka-suka. Kalau karyawan seperti kami ini – maksudnya dia dan teman-temannya di perusahaan elektronik itu – bolos kerja bisa kena SP (Surat Peringatan). Itu, tuh si Rudi yang bekerja di bagian gudang, diberhentikan karena sering bolos. Katanya dia suka bisnis di luaran dan hasilnya lebih gede dari gajinya di sini.”

“Itu, sih memang menunggu diberhentikan namanya,” kataku menimpali. “Eh, Aku juga baru mengeluarkan seorang karyawan yang kebetulan keponakanku sendiri. Aku sudah ngga ngeh melihat cara kerjanya yang malas-malasan. Pokoknya lelet banget. Kuperingatkan beberapa kali, ternyata tidak berubah juga. Daripada mencemari karyawan yang lain, yah, dengan sangat berat kuberhentikan.”

“Wah, apa ngga jadi bermasalah dengan orang tuanya ?” tanya temanku takjub.

“Untungnya kakakku – ibu dari keponakanku – mengerti. Memang anak itu, katanya, sukar diatur dan suka melawan.”

“Kok, bisa, ya orang lebih suka menganggur daripada bekerja?” tanya temanku keheranan. “Kan, enakan bekerja, dapat gaji dan punya uang. Daripada menganggur, bengong tidak tahu mau melakukan apa, bokek lagi.”

“Siapa bilang menganggur tidak enak?” ujarku melempar pertanyaan menggelitik.

“Apa enaknya?” tanya temanku terpancing.

“Tetanggaku seorang pengangguran dan hidupnya enak sekali. Lulus SMA tidak mau kuliah, kerja juga enggan. Sekarang hampir tiap malam nongkrong di depan komplek. Mau ngerokok tinggal minta uang sama bapaknya. Makan dan minum terjamin di rumah orangtuanya. Enak, kan?”

“Itu, sih namanya benalu.” Kata temanku dengan nada kesal. “Lama kelamaan pohon yang dihinggapinya akan mati karena disedot makanannya sama dia.”

“Tapi katanya, pengangguran di Amerika Serikat dapat gaji, lho.” Ceritaku memancing temanku lagi.

“Itu, sih aku sudah tahu!” Balas temanku dengan perasaan menang. “Penggangguran di sana, kan boleh mengambil uang jaminan sosial. Mereka bisa hidup secara minimum dengan uang itu. Tapi biasanya mereka itu adalah orang-orang malas yang memang tidak mau bekerja.”

“Menurut kamu, kalau di Indonesia diberikan uang jaminan sosial untuk pengangguran. Bagaimana?” tanyaku.

“Bakalan semakin meningkat, deh angka pengangguran di Indonesia,” jawab temanku cepat. “Adanya BLT aja bikin orang yang punya uang mengaku miskin, apalagi ada uang jaminan sosial.”

“Kamu tahu ngga kalo ada perbedaan antara pengangguran di Amerika dan di Indonesia?” tanyaku menguji temanku sekalian mau membikin dia kalah telak kali ini. “Tapi bukan yang diomongi tadi.”

Temanku terdiam dan berpikir. Sekali ini dia pasti kalah telak tidak bisa menjawab. Setelah cukup lama berpikir dan tidak menemukan jawabannya, dia pun menyerah.

“Oke, deh. Aku menyerah. Apa, dong perbedaannya?” Rupanya karena dari tadi pembicaraan kami serius-serius terus, dia tidak menyangka kalau sekali ini saya bercanda.

“Kalau pengangguran di Amerika tidak punya pekerjaan, sedangkan di Indonesia pengangguran banyak pekerjaannya.”

“Lho, mana bisa?!” Temanku protes. “Mana ada pengangguran punya banyak pekerjaan.”

“Buktinya, tetanggaku yang menganggur itu,” jawabku menjelaskan. “Sewaktu dia bangun kesiangan sehabis begadang semalaman dengan teman-temannya sesama pengangguran, ibunya marah-marah membangunkannya. Kata ibunya, ‘Dasar anak pemalas! (Berarti anak dari orang tua yang malas, seharusnya anak yang malas), sudah pengangguran, kerjaannya tidur, makan, minta uang, ngerokok ngga berhenti-henti. Begadang sampai pagi, bangun kesiangan. Dasar pemalas!’ Coba hitung, ada lima pekerjaan yang dilakukannya tiap hari. “

Temanku tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku tidak tahu apa sebabnya dia menggeleng-geleng kepala. Apakah tidak setuju dengan sifat malas tetanggaku yang pengangguran itu, atau merasa kalah karena tidak bisa menjawab pertanyaanku yang ternyata jawabannya ngawur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar