Pernah dimuat di Wikimu pada Kanal Gaya Hidup, Jumat 09-05-2008 15:35:27
Dua orang teman saya sedang bertengkar, pada awalnya, sih diskusi "baik-baik", tapi akhirnya menjadi adu mulut. Saya yang duduk di samping keduanya, benar-benar hanya menjadi pendengar yang baik. Takut kalau ikut nimbrung hanya akan jadi penambah keributan atau akhirnya dibilang memihak salah satu. Jadi, ya diam saja sambil terus menyimak. Begini, nih ceritanya.
"Pokoknya itu mutlak kesalahan Pemerintah Daerah yang memberi izin berdirinya komplek perumahan itu. Seharusnya khan dilihat dulu secara geografis, cocok atau tidak kalau di tempat tersebut dibangun perumahan. Dan seharusnya dampak yang mungkin terjadi juga sudah bisa diprediksi sebelum pembangunan dimulai. Teknis yang bagaimana yang bisa diterapkan agar tidak berdampak buruk terhadap lingkungan," jelas teman saya yang pertama berapi-api, sampai-sampai "hujan lokal" turun di sekitar wajah kami.
"Memang dalam hal ini ada andil kesalahan dari pihak Pemda, tapi harus diingat juga, dong, pihak developer khan punya insinyur yang pintar. Kenapa dia tidak bisa memperhitungkan kalau dibangun perumahan, maka secara struktur tanah di sekitar wilayah tersebut akan mengalami penyempitan areal resapan air. Insinyur itu khan pernah belajar hukum Archimedes, itu tuh orang yang kalau bercebur ke dalam bak mandi airnya bisa tumpah," sanggah teman saya yang kedua membalas dengan berapi-api, sampai saya berpikir untuk mencari payung (jadi ingat Tukul di Empat Mata).
Teman saya yang pertama tetap tidak mau mengalah, lalu sahutnya, "Tapi, khan pihak developer sudah mengajukan permohonan izin sebelumnya, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kalau pihak Pemda sudah memberi izin itu berarti pihak Pemda sudah mengadakan investigasi dan evaluasi, wong orang-orang pintarnya khan adanya di Pemda. Yang punya peraturan dan mengerti betul peraturan tersebut khan mereka."
"Oke, tapi saya yakin kesalahan ada di pihak developer, karena mereka hanya berpikir untuk keuntungan sendiri, tanpa memikirkan orang lain di sekitar daerah tersebut. Jelas-jelas mereka ingin membangun kompleks perumahan mewah yang tidak berwawasan lingkungan. Lihat saja struktur bangunannya, jalannya, sampai sistem drainasenya, ada ngga, tuh yang berwawasan lingkungan. Seluruh wilayah kompleks raksasa tersebut sudah menghabiskan banyak areal resapan air," bantah temanku yang kedua lagi.
"Iya, semua itu khan terjadi karena di belakang ada "kong kali kong", sehingga semua peraturan menjadi terabaikan. Semua ini pasti karena pikiran korup pihak aparat yang memanfaatkan kesempatan ini, sehingga pihak developer dengan "terpaksa" melayani, karena mereka khan tidak mau proyeknya terhambat. Karena akan mengakibatkan kerugian finansial yang besar." Bela temanku yang pertama.
"Hei, hei, kamu jangan main lempar kesalahan, dong, " kata temanku yang kedua geram sambil menunjuk-nunjuk ke wajah temanku yang pertama. "Yang pertama kali memberi suap itu biasanya yang butuh bantuan. Jelas-jelas yang punya duit pihak developer, kenapa kamu menyalahkan pihak Pemda. Secara institusi tidak ada yang namanya korupsi dilegalkan. Itu semua perbuatan oknum. Kamu tidak bisa bilang begitu seenaknya."
Pertengkaran terus berlanjut, dan tidak bisa ditulis semuanya di sini disebabkan banyaknya kata-kata kasar dan tidak pantas untuk ditulis yang sudah mulai dipergunakan. Saya sebagai pendengar pada awalnya, sih bisa menahan diri untuk tidak ikut terpancing, tetapi kalau lama-lama tetap duduk di samping mereka pasti akan terpancing juga. Dari pada terlanjur ikut diskusi berbahaya itu, dan untuk menghindari diskusi tersebut berubah menjadi arena tinju, saya dengan sigap langsung memotong perdebatan sengit mereka dengan berkata :
"Kamu berdua ini seharusnya tidak perlu ngotot-ngototan begitu." Kataku menasehati. "Karena kamu berdua ini pada dasarnya keliru."
"Keliru bagaimana ?" Tanya mereka serempak.
"Banjir yang terjadi di jalan tol bandara ini bukan disebabkan oleh kedua belah pihak," ujarku memberikan opini.
"Lalu karena apa ?" Tanya temanku yang pertama ingin tahu.
"Menurutku yang salah adalah nama kompleks perumahan itu," terangku.
"Lho, kok bisa ?" Tanya temanku yang kedua dengan mata melotot keheranan sambil mengernyitkan dahi mencoba memikirkan maksud kata-kataku.
"Iya," jawabku tenang. "Seharusnya jangan diberi nama Pantai Indah Kapuk, karena gara-gara nama itu air laut berdatangan mendekati komplek itu. Khan pantai tidak bisa terpisah dengan laut, jadi, ya air lautnya pada jalan-jalan mengunjungi. Seharusnya namanya Bukit Indah Kapuk atau Lembah Indah Kapuk, baru aman."
Mendengar penjelasanku yang asal-asalan itu kedua temanku langsung tertawa dan tidak jadi melanjutkan perdebatannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar