Akhirnya Marwoto Komar, pilot pesawat yang dinyatakan bersalah dalam kasus kecelakaan pesawat Garuda Indonesia - yang menewaskan 22 penumpang - di Bandar Udara Adisucipto, Yogyakarta pada tanggal 7 Maret 2007 silam, menjalani sidang pertama di Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta pada hari Kamis tanggal 24 Juli 2008 dengan didampingi lima penasihat hukumnya serta istri dan rekan-rekan seprofesinya. Kabarnya persidangan ini disebabkan karena adanya desakan dari pihak keluarga korban, terutama korban warga negara asing yang menuntut keadilan.
Beberapa waktu lalu tidak lama setelah kecelakaan pesawat tersebut Asosiasi Pilot Garuda (APG) mengancam akan melakukan aksi mogok jika memang pilot Marwoto tetap ditahan dan ada upaya kriminalisasi. Bahkan dalam pemeriksaan Marwoto di kepolisian, kedua penasihat hukumnya yakni Muhammad Assegaf dan Kamal Firdaus berharap kasus kecelakaan pesawat ini diselesaikan di Makamah Penerbangan bukan di pengadilan. Namun karena saat ini belum terbentuk mahkamah penerbangan di Indonesia, tentu saja hal tersebut tidak memungkinkan untuk dilakukan.
Kelalaian seorang pilot
Apabila memang terbukti kecelakaan pesawat Garuda yang dikapteni oleh Marwoto tersebut disebabkan kelalaiannya, maka yang bersangkutan sudah memenuhi ketentuan Undang-undang RI No.15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan yang pada Pasal 16 menyatakan : Dilarang menerbangkan pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang dan barang, dan/atau penduduk atau mengganggu keamanan dan ketertiban umum atau merugikan harta benda milik orang lain.
Kemudian pada Pasal 60 menyatakan : Barang siapa menerbangkan pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang dan barang, dan/atau penduduk, atau mengganggu keamanan dan ketertiban umum atau merugikan harta benda milik orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta Rupiah).
Bahkan apabila merujuk kepada Kitab Undang-undang Hukum Pidana pada Pasal 359, 360, dan 361, maka kelalaian pilot pesawat Marwoto bisa digolongkan kesalahan / kealpaan yang menyebabkan orang lain mati, luka-luka berat dan cacat tetap. Dan karena kesalahan tersebut terjadi di dalam ruang lingkup tanggung jawab pekerjaan atau jabatannya, maka pengadilan dapat mencabut haknya untuk menjalankan tugas dan pekerjaannya.
Preseden buruk
Ada pendapat yang berkembang bahwa apabila kasus Marwoto tersebut berujung pada vonis bersalah oleh hakim, maka akan menjadi preseden buruk bagi para pilot, profesi pilot atau penerbang untuk masa yang akan datang. Dikuatirkan para pilot tidak akan berani lagi menerbangkan pesawat terbang, karena mereka tidak mau menanggung resiko dipengadilankan apabila pesawat yang mereka piloti mengalami kecelakaan.
Sangat disayangkan kenapa mereka berpikir seperti itu. Para pilot tersebut seharusnya melihat sisi tanggung jawab pekerjaannya, baik atas kerusakan barang maupun kehilangan jiwa dan luka-luka badan yang ditanggung penumpangannya, bukan hanya sisi kepentingan pribadi dan gengsi profesi semata. Coba mereka menengok sebentar profesi lain yang kurang lebih beresiko sama seperti supir bus, angkot dan lain-lain. Bukankan para supir bus atau angkot itu pun harus bertanggung jawab apabila kendaraan yang disupirinya mengalami kecelakaan dan memakan korban ?
Informasinya bagus, walaupn saya bacanya agak telat..
BalasHapustapi udah baca itu keinginan saya untuk jadi pilot atau penerbang gak tergoyah kan...