Saya terpancing untuk menulis tulisan ini disebabkan adanya komentar yang muncul di Wikimu atas tulisan saya yang berjudul Analisa dan Prediksi Hasil Final EURO 2008 (http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=9068). Di mana komentar tersebut berbunyi :
"Untuk M Zidane : jangan dipikirin sepakbola Indonesia. Makin dipikirin makin hancur aja. Masa cari 11 orang dari 200 juta penduduk dari dulu kagak bisa2. Capek .... " (oleh : Rudy)
Piala Dunia (World Cup), ajang pertandingan sepak bola tingkat dunia
Seperti diketahui, Piala Dunia (World Cup) adalah ajang kompetisi tim sepak bola negara-negara di tingkat dunia. Seleksi tim berlangsung dari babak kualifikasi setingkat regional Asia, Australia, Afrika, Amerika (Latin dan USA), dan Eropa sampai kemudian ditemukan 16 kesebelasan dari negara yang akan bertanding di babak penyisihan World Cup. Dan biasanya, kesebelasan negara kita sudah gugur di dalam putaran awal pada babak kualifikasi.
Kegagalan-kegagalan yang berulang dari tim sepak bola kita untuk lolos dari putaran kualifikasi itulah yang membuat saya memberi judul tulisan seperti tersebut di atas. Judul tersebut bukan ungkapan rasa pesimistis belaka, tetapi merupakan hasil analisa yang realistis. Untuk lebih jelasnya maka tulisan ini mencoba memberikan analisa singkat dengan melihat faktor-faktor kelemahan yang ada pada bangsa kita, yaitu kelemahan potensial, perilaku dan gaya hidup serta kemudian menghubung-hubungkan fakta-fakta tersebut sampai terbentuk suatu kesimpulan : Tim Sepak Bola Indonesia Tidak Mungkin Bisa Masuk Babak Penyisihan Piala Dunia (World Cup).
Faktor-faktor kelemahan potensial :
1. Orang Indonesia berpostur tubuh rata-rata lebih kecil dibandingkan dengan orang Eropa dan Amerika.
2. Postur tubuh lebih kecil menyebabkan metabolisme tubuh lebih cepat sehingga pembakaran sumber energi di dalam tubuh lebih cepat habis. Hal ini berarti daya tahan atau stamina lebih cepat menurun. Sedangkan dalam permainan sepak bola, paling sedikit seorang pemain harus bisa bertahan sampai babak kedua yang berdurasi 90 menit dengan terus berkejar-kejaran dengan pemain lawan dalam mengejar bola. Ini sudah dibuktikan bahwa pemain Indonesia rata-rata akan menurun staminanya secara drastis di babak kedua.
3. Tubuh kecil juga berarti cadangan sumber energi di dalam tubuh lebih sedikit dibandingkan dengan yang bertubuh besar, sehingga energy yang dihasilkan lebih sedikit.
4. Postur tubuh lebih kecil berarti panjang kaki rata-rata lebih pendek. Hal ini menyebabkan panjang langkah kaki lebih pendek dari orang Eropa dan Amerika. Hal tersebut menyebabkan dalam kejar-mengejar bola dengan pemain lawan lebih cenderung tertinggal dari pemain lawan yang mempunyai langkah kaki lebih jauh.
5. Postur lebih pendek juga menyebabkan perebutan bola atas (sundulan kepala) akan lebih dikuasai oleh pemain lawan yang lebih tinggi.
6. Kebiasaan hidup di alam yang beriklim tropis dan dua musim sangat melemahkan fisik pemain sepak bola Indonesia apabila harus bertanding di negara Eropa yang beriklim sub tropik dan artik / antartik. Umumnya untuk musim gugur sampai musim semi (kurang lebih berlangsung 9 bulan) udara di Eropa akan dirasakan sangat dingin bagi umumnya orang Asia. Di dalam kondisi udara dingin dibutuhkan lebih banyak energi yang harus dibakar di dalam tubuh untuk mengimbangi suhu udara luar, ini berarti energi untuk bermain akan lebih terpakai untuk menahan dinginnya udara sehingga apabila ditambah dengan faktor nomor 2 dan 3 seperti tersebut di atas maka pemain bola Indonesia akan menjadi lebih cepat lelah dan terkuras tenaganya.
Faktor-faktor kelemahan perilaku :
1. Orang Indonesia umumnya lebih suka mencari kambing hitam untuk sebuah kelemahan atau kesalahan. Suatu sikap yang sangat kontraproduktif, sehingga melemahkan kewaspadaan dan menghambat kecerdasan untuk mencari solusi. Seharusnya dengan berpikiran terbuka dan instrospeksi diri serta berupaya mencari solusi yang terbaik, tim sepak bola Indonesia akan bisa mengatasi kelemahan-kelemahan potensial tersebut di atas.
2. Orang Indonesia umumnya lebih pasrah terhadap kondisi dan enggan berupaya maksimal untuk mencari solusi.
3. Orang Indonesia umumnya berpikiran pendek dan tidak mau berpikir jangka panjang dalam melihat suatu manfaat. Apabila suatu tidak tindakan atau perbuatan tidak menghasilkan manfaat dalam waktu dekat, maka kita umumnya menjauhinya dan memilih melakukan suatu tindakan yang memberi manfaat segera atau dalam waktu singkat. Sehingga menghambat upaya-upaya untuk mengatasi kelemahan potensi dan kondisi yang biasanya memakan waktu cukup lama dan memerlukan kesabaran tinggi dalam menunggu hasilnya.
4. Orang Indonesia umumnya mudah untuk cepat puas dengan suatu kondisi sebagai gambaran keputusasaan permanen. Ada pemeo yang sering digunakan dalam percakapan kita : masih untung kita bisa begini.
Faktor-faktor kelemahan perilaku ini akan sangat berpengaruh secara signifikan apabila diderita oleh pengambil kebijakan yaitu pemerintah. Dimana Pemerintah sebagai motor penggerak kebangkitan persebakbolaan Indonesia akhirnya hanya bisa melihat, menonton dan membiarkan.
Faktor-faktor kelemahan gaya hidup
1. Pola makan dan pilihan menu makanan orang Indonesia umumnya lebih mengutamakan sumber makanan karbohidrat (nasi) dibandingkan dengan sumber makanan yang mengandung protein (ikan, daging dan telur) di dalam satu porsi makanan yang dimakannya. Hal tersebut berakibat postur tubuh orang Indonesia umumnya lebih pendek dari rata-rata orang Asia di Jepang, Korea, Arab, India dan China.
2. Kedisplinan yang lemah. Ini akan tercermin dalam lemahnya kedisiplinan waktu dalam berlatih, beristirahat dan kedisiplinan menjaga pola makan.
Solusi untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut
Akan tetapi semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Jalan keluar dimaksud adalah pengembangan sikap optimis dan kecerdasan mencari solusi. Namun untuk mewujudkan suatu solusi yang lebih cepat dan tepat sebelumnya kita harus mengembangkan sikap berupa :
1. Menyadari bahwa kelemahan-kelemahan tersebut di atas memang ada pada diri kita dan kita harus menerimanya.
2. Menyadari bahwa suatu kelemahan harus diatasi bukan dibiarkan.
3. Menyadari bahwa solusi hanya bisa didapat dari hasil olah pikir yang berlandaskan kebenaran dan ingin mencari jalan keluar.
4. Secara bersama-sama seluruh elemen bangsa dan terutama pengambil kebijakan yaitu Pemerintah untuk segera mengambil langkah kongkret untuk mewujudkan solusi terbaik dengan tidak hanya berwacana saja.
Solusi terbaik
Jadi apa kira-kira solusi terbaik yang bisa ditawarkan ? Ada suatu solusi sederhana yang mungkin memerlukan dana cukup besar untuk mendapatkan sebuah tim sepak bola Indonesia yang handal dan dapat dipertarungkan di ajang sepak bola tingkat dunia seperti World Cup. Dan mempunyai kemungkinan untuk bisa lolos sampai, paling tidak babak penyisihannya. Solusi tersebut adalah :
Cari dan kumpulkan 11 orang pemain inti dan beberapa pemain cadangan dari 200 juta rakyat Indonesia yang kira-kira sekarang berumur 7 sampai dengan 12 tahun. Mereka adalah pemain bola cilik yang memang berminat besar dengan dunia persepakbolaan, berbakat brilian, cerdas dan mempunyai postur tubuh di atas rata-rata anak Indonesia pada umumnya.
Kemudian bikin kontrak dengan mereka seumur hidup, sekolahkan mereka di sekolah sepak bola di negara Eropa yang beriklim dingin dan biayai hidup mereka sampai mereka dewasa. Biasakan mereka tinggal di sana, berpola makan seperti orang Eropa dan didik dan gembleng mereka dengan gaya dan disiplin sepak bola Eropa. Setelah cukup umur dan ilmu sepak bola mereka, daftarkan dan ikutkan tim ini dalam kompetisi kualifikasi World Cup.
Untuk babak kualifikasi awal di tingkat Asia, kembalikan mereka ke Indonesia untuk beradaptasi dengan lingkungan dan cuaca di daerah tropis. Adaptasi terhadap lingkungan dan cuaca di daerah tropis tidak akan terlalu sulit bagi mereka, karena secara genetis mereka masih menyimpan kemampuan adaptasi terhadap lingkungan dan cuaca di daerah tropis. Sekali-kali untuk tidak melupakan adaptasi terhadap cuaca di Eropa, kembalikan mereka ke sana pada saat sepi pertandingan. Apabila kemudian mereka berhasil lolos dan harus bertanding di negara Eropa, mereka akan dengan mudah untuk beradaptasi kembali.
Apakah solusi ini masuk akal ? Terserah Anda menilainya. Tapi apabila ini dilakukan, saya yakin judul tulisan di atas bisa menjadi sebaliknya.
Saya pikir ide itu bisa di pertanyakan beberapa hal :
BalasHapus1. apakah 11 orang pemain itu merupakan pemain yang terbaik. karena dia bisa menjadi pemain harus menunggu 10 tahun lebih. Bagaimana kalau ditengah jalan atau di ujung jalan di cidera, dan tidak bisa bermain seumur hidup. maka program ini akan sia-sia.
2. Biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan yang akan didapatkan.
3. bagaimana dengan keberlanjutan. apakah kita hanya menghasilkan 1 generasi tim nasional saja?
Untuk konsep yang ideal aku punya tawaran lain bisa diliat di blog aku. Konsep ini juga sedang hangat didiskusikan di Forum Detik (http://forum.detik.com/showthread.php?t=55703) dan Kaskus forum (http://www.kaskus.us/showthread.php?t=1084895)
Semoga bisa jadi bahan diskusi yg konstruktif
terima kasih atas jawaban komentarnya di Blog saya, ada beberapa yang perlu didiskusikan lagi. Antara lain :
BalasHapusNo. 3.Permasalahan adaptasi lingkungan, cuaca, dan budaya di eropa (yang sering dijadikan tempat berlaga) adalah dasar pemikiran utama.dan
No.4.Mengenai biaya, ini yang susah dibicarakan, he he he, karena di eropa komersialisasi olah raga demikian hebatnya, sedangkan di Indonesia, sponsor diminta aja susah (olah raga ngga laku dibanding konser musik)
Untuk dua hal ini akan terbantah kalau kita melihat negara-negara Amerika Latin atau Negara-negara Afrika mampu bersaing ke Piala Dunia. Artinya tentang cuaca dan dana itu tidak lagi menjadi penghambat mengapa suatu negara tidak bisa bersaing ke piala dunia.
Kalau Faktor cuaca dan dana, mengapa negara seperti New Zeland tidak bagus sepakbolanya? Cuaca mereka sama dengan di Eropa walaupun mereka di belahan bumi yang berlainan. Keuangan negaranya juga hampir sama dengan negara-negara di Eropa.
Jadi menurut aku, memang sistem kompetisi dan pembinaan usia dini yang menitikberatkan kepada kompetisilah yang menentukan.
Menarik diskusi ini, terima kasih.