Selasa, September 23, 2008

Kota Banjarmasin di Usia 482 Tahun dalam Pandangan Seorang Warganya




(24 September 1526 – 24 September 2008)


Tepat Hari Rabu tanggal 24 September 2008 kota Banjarmasin, ibu kota provinsi Kalimantan Selatan genap berusia 482 tahun. Sebuah ukuran waktu yang cukup tua untuk sebuah kota, dan menggambarkan goresan pengalaman yang sudah cukup dalam. Ibarat seorang manusia, berjuta pengalaman sudah dilewati, melintasi berbagai jaman, tentu tidak sedikit pengalaman yang sudah dirasakan. Sayangnya, sebuah kota bukanlah seorang manusia yang bisa merekam pengalaman-pengalaman sepanjang hidupnya. Kota hanyalah benda mati tanpa nyawa, yang hanya dapat bersandar pada perlakuan dan kelakuan manusia yang mengisi kota itu, yakni kita penduduknya.

Bermula dari kedatangan Pangeran Samudera, putera mahkota kerajaan Daha – di sekitar wilayah Amuntai sekarang – yang melarikan diri dari pengkhiatan pamannya sendiri, Pangeran Tumenggung, yang merebut kekuasaan kerajaan Daha dari tangannya, untuk menyelamatkan diri dari usaha pembunuhan oleh pamannya tersebut. Dengan menyusuri sungai hingga sampai ke muara Sungai Barito dan kemudian memasuki daerah Banjarmasin sekarang, lalu kemudian menetap untuk menyusun strategi menyerang merebut kembali kekuasaan kerajaan Daha yang merupakan haknya dari pamannya Tumenggung.

Hari jadi Kota Banjarmasin berdasarkan sejarah adalah tanggal 24 September 1526/6 Zulhijjah 932 H yang merupakan hari berdirinya Kerajaan Banjar dibawah kekuasaan Pangeran Samudera yang pada tanggal itu juga resmi memeluk agama Islam – sebelumnya beragama Hindu - dan berganti nama menjadi Sultan Suriansyah dan bergelar Panembahan Batu Habang. Beliau memimpin Kerajaan Banjar pada tahun 1596 – 1620. Dihitung sejak tanggal tersebut maka usia Banjarmasin sampai sekarang sudah 482 tahun.

Wajah kota yang cukup memprihatinkan

Sebagai warga kota, barangkali akan terasa naif kalau saya mengatakan bahwa kota Banjarmasin adalah kota yang “bungas”, ungkapan yang selalu didengung-dengungkan oleh pemerintah kota. Istilah yang berasar dari bahasa Banjar yang berarti cantik atau anggun ini seperti menjadi kamuflase atau penina bobo bagi warga Banjarmasin agar menjadi terlalihkan perhatiannya dari kenyataan yang sesungguhnya terjadi. Ataukah memang warga kota memang tidak peduli dengan kondisi kotanya karena sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri atau memang ketidakacuhan tersebut lantaran respon pemerintah kota yang sangat lamban terhadap keluhan warganya ?

Berikut beberapa permasalahan mendesak dan cukup rawan yang sudah terjadi di kota Banjarmasin dan memerlukan perhatian serius serta tindakan nyata yang berdampak langsung :

1. Masalah jalan dan lalu lintas kendaraan bermotor

Apabila kita menyusuri jalan-jalan di kota Banjarmasin, baik siang maupun malam hari maka yang pertama kali kita rasakan adalah kesemrawutan jalan rayanya. Kondisi yang sama mungkin juga sudah terjadi di kota-kota lain di seluruh Indonesia disebabkan jumlah pertambahan kendaraan bermotor yang selalu meningkat setiap tahunnya sedangkan jumlah ruas dan lebar jalan pertumbuhannya sangat kecil. Ada penambahan jalan baru tapi hanya terjadi di luar kota yang jarang dilalui pengguna kendaraan bermotor seperti jalan lingkar Utara dan Selatan, sedangkan kondisi lalu lintas di dalam kota luar biasa padat dan di ruas jalan tertentu hampir setiap hari terjadi kemacetan, seperti Jl. Perintis Kemerdekaan (Pasar Lama), Jl. S. Parman setelah simpang empat Jl. Belitung, Jl. Brigjend. H. Hasan Basri (Kayu Tangi), sepanjang Jl. Veteran sampai simpang Jl. Gatot Subroto, Jl. Pangeran Antasari dan Jl. Pangeran Samudera (masuk kota), dan Jl. K.S. Tubun.

Kondisi ini diperkirakan akan bertambah parah dalam lima tahun mendatang apabila pemerintah kota tidak segera mencari solusi terbaiknya, baik berupa pelebaran jalan, pembukaan jalan alternatif, penambahan jembatan baru di atas sungai sebagai jalan pintas, atau pun pembatasan kepemilikan kendaraan bermotor dan peningkatan fasilitas angkutan umum kota, maka dikuatirkan dalam jangka waktu tersebut jalan-jalan utama di kota Banjarmasin akan mengalami kemacetan total oleh padatnya kendaraan bermotor.

Selain kemacetan jalan, masalah yang mengikutinya adalah semakin semrawutnya perpakiran kendaraan bermotor, terutama parkir-parkir liar (istilah parkir di sembarang tempat di bahu-bahu jalan, walaupun sudah diijinkan karena dipungut retribusinya oleh Pemko).

2. Menjamurnya ruko, perumahan dan akibat yang ditimbulkan terhadap daerah resapan air

Pertumbuhan ruko (rumah toko) di kota Banjarmasin sungguh luar biasa. Bukan hanya di wilayah-wilayah bisnis dan jalan protokol, tapi juga sampai ke pelosok dan jalan-jalan tembus. Ruko tersebut dibangun bukan hanya dijadikan toko atau tempat berbisnis, untuk ruko yang dibangun di daerah pelosok dan di pinggiran kota banyak yang dijadikan sebagai gudang tempat penyimpanan stok barang dagangan atau dijadikan tempat bersarang burung walet (bisnis baru yang menjamur setelah batu bara).

Permasalahan utamanya adalah pembangunan ruko ini tidak memperhatikan karakteristik tanah di kota Banjarmasin yang umumnya rawa bergambut. Tanah di kota ini bersifat labil, tidak keras seperti kota tetangganya Banjarbaru, dan air tanah tidak terkandung secara permanen tapi bersifat mengalir sebagai hasil resapan dari air hujan. Kondisi ini bisa diumpakan seperti spon atau busa yang dibahasi dengan air.

Ruko di kota Banjarmasin dibangun dengan cara menguruk tanah rawa sehingga areal resapan air menjadi berkurang. Ibarat kita memasukkan batu ke dalam mangkuk berisi air, sudah pasti air di dalam mangkuk akan tumpah keluar karena volume mangkuk untuk menampung air akan digantikan oleh batu. Seperti itu juga kondisi daerah resapan air di Banjarmasin. Pembangunan ruko dan perumahan kian menyita wilayah air di kota Banjarmasin, sehingga diperkirakan dalam tempo sepuluh tahun ke depan Banjarmasin bisa menjadi seperti Jakarta, yakni banjir di mana-mana apabila hujan turun.

Seperti yang sudah terhadi sekarang ini, daerah sekitar Jl. Veteran di samping kelenteng apabila hujan turun dalam satu jam, maka akan banjir digenangi air. Padahal dulu sebelum ada ruko memadati pinggiran kanan kiri jalan hal tersebut tidak terjadi. Seputar Jl. Lambung Mangkurat dan Jl. Simpang Hasanuddin HM (samping BCA) juga sudah setiap tahun menjadi langganan banjir disebabkan dua gedung besar di kiri (Gedung BCA) dan kanan (Gedung Bank Indonesia) menjadikan ruas jalan itu seperti ember besar penampung air.

3. Pedagang kaki lima di pasar tungging.

Permasalahan pedagang kaki lima di seputar jalan Belitung Laut sampai Belitung Darat ini mungkin tidak perlu terjadi seandainya Pemerintah Kota jauh-jauh hari sudah mengantisipasinya. Namun ketidakpedulian Pemkot walaupun sudah ada keluhah dari warga masyarakat yang berumah tinggal di sekitar jalan Belitung berbuah keparahan seperti yang terjadi sekarang ini.

Pertumbuhan pedagang kaki lima pasar tungging (istilah tungging, bhs. Banjar artinya berdiri hampir berjongkok seperti mau mengambil sesuatu sehingga bagian – maaf – pantat mengarah ke atas) sungguh luar biasa. Pada mulanya pedagang pasar tungging hanyalah diisi oleh pedagang kaki lima pakaian bekas impor, itu pun hanya terlihat sekitar muara jalah Simpang Belitung. Namun kemudian pertumbuhannya semakin meningkat setelah berdatangan pedagang-pedagang dengan komoditi lain setelah perdagangan pakaian bekas impor dilarang, seperti pakaian jadi, sepatu, bahan pokok, bahkan sampai pedagang sayur dan ikan. Sekarang ratusan pedagang (ribuan ?) sudah memenuhi sepanjang jalan Belitung Laut sampai sebagian jalan Belitung Darat, kurang lebih 1,5 km lebih sudah terisi pedagang kaki lima. Walaupun mereka baru mulai menggelar dagangannya setelah pukul 15.00 Wita tapi permasalahan yang diakibatkannya adalah jumlah pengunjung yang membludak pada malam hari, terutama malam yang besoknya hari libur seperti malam Sabtu, Minggu dan Senin. Apalagi menjelang Idul Fitri seperti sekarang ini, sepanjang jalan Belitung akan macet dari mulai pukul 16.00 Wita sampai 22.00 Wita. Kalau saya yang jarang melewati ruas jalan itu mungkin tidak perlu kuatir, tapi pasti jadi masalah bagi warga yang bertempat tinggal di sana atau orang yang harus melewati jalan itu karena ada suatu keperluan.

Prediksi saya tidak sampai lima tahu ke depan sepanjang ruas jalan Belitung sudah akan menjadi pasar tungging. Dan celakanya, upaya penggusuran para pedagang kaki lima ini pernah dilakukan oleh Pemkot karena warga sekitar sudah merasa sangat keberatan dengan keberadaannya, tapi ternyata menemui jalan buntu. Permasalah utamanya bukannya tidak adanya lokasi pengganti, karena sebagian pedagang yang sama sudah banyak yang berjualan di pasar Blauran di Jl. Niaga (Pasar Baru), tapi kabarnya satu los toko kaki lima di pasar tungging dipungut sewa dan lain-lain oleh Dinas Pasar sampai Rp.4 juta per tahun. Apakah uang ini masuk kas kota atau tidak, belum diketahui dengan pasti.

4. Daerah bantaran sungai dan pemanfaatannya

Cerita klasik tentang bangunan di pinggir sungai sebetulnya adalah peninggalan dari kebudayaan kehidupan sungai warisan nenek moyang. Bukan hanya daerah bersungai lebar di Indonesia, seperti di Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan, tapi juga di Eropa seperti Italia, Belanda dan negara Eropa Timur banyak terdapat bangunan di tepi-tepi sungainya. Cuman bedanya di Eropa sana penataannya cukup baik dan bahkan menjadi salah satu objek wisata yang menawan, seperti Venesia di Italia, dan berperahu di kanal-kanal di kota Belanda.

Di Banjarmasin pemandangan indah tersebut sulit untuk dijumpai apabila kita menyusuri sepanjang sungai Martapura menyaksikan rumah-rumah kumuh sepanjang pinggiran sungai. Di Belanda atau Itali sana bangunan-bangunan di bantaran sungai adalah rumah-rumah gedung yang berarsitektur eropa yang anggun dan menawan, berbeda dengan bangunan di Banjarmasin yang tidak lebih dari rumah-rumah tua, gubuk-gubuk kumuh dan lanting-lanting yang jauh dari kesan indah.

Kondisi sedemikian menjadikan Pemko Banjarmasin berniat untuk membersihkan seluruh bantaran sungai di Banjarmasin dari bangunan-bangunan. Seperti yang sudah dilakukan terhadap rumah–rumah di sepanjang sungai samping Jalan Japri Zam-zam. Beratus-ratus kepala keluarga sudah dipindahkan dengan diberikan lokasi pengganti dengan rumah yang cukup yang memadai di Jalan Jahri Saleh. Larangan pembangunan kembali bangunan dalam bentuk apapun di pinggiran sungai adalah untuk mengembalikan fungsi sungai kota seperti seharusnya yakni sebagai sarana transportasi air, saluran pembuangan air ke laut, landmark kota, penunjang keindahan dan unsur penunjang budaya daerah.

Namun anehnya, ternyata Pemko melanggar aturannya sendiri tentang larangan pembangunan di bantaran sungai ini, yakni dengan memberikan ijin pembangunan untuk hotel Victoria yang didirikan di pinggiran sungai Martapura di Jalan R.E. Martadinata, persis di seberang jalan agak kekiri dari Kantor Walikota Banjarmasin, selain itu Pemko Banjarmasin juga membangun kantor Dinas Pariwisatanya di bantaran sungai persis di depan kantor Walikota di jalan yang sama.

Jadi bagaimana mau menertibkan masyarakatnya apabila pemerintah kota melanggar peraturan yang dibikinnya sendiri ?


Demikian sebagian permasalah kota Banjarmasin, yang sampai saat ini sepertinya belum diatasi dengan baik oleh pemeritah kotanya dan kondisinya semakin hari semakin parah saja.

Oh, Banjarmasinku tercinta, bagaimana aku mau memanggilmu “bungas” kalau engkau ternyata memang “tidak bungas”.

1 komentar:

  1. boleh lah postingannya, btw ntar kalo dah ga sibuk pasti saya komentarin... hidup banjarmasinn....

    BalasHapus